Mata Nina Mata Ana
Topi jerami buatan hadiah nenek melekat di kepala Nina, baju terusan bermotif bunga-bunga
menghiasi tampakannya. Siang setelah keluarganya menempati rumah baru, Nina
hendak berjalan-jalan mengitari komplek, dan ia menemukan taman
yang indah. Ia sangat suka taman. Apalagi ada papan seluncur dan berbagai
wahana sederhana lainnya. Yang tak kalah menarik perhatiannya adalah bangku di
bawah pepohonan rindang. Ia tahu besok-besok kalau ke sini lagi ia akan duduk di
bangku tersebut.
Taman
yang sejuk, deretan pohon dan puluhan bunga mekar menawan di sana. Nina telah
menemukan dirinya “Ini akan menjadi tempat favoritku.”
“Fiiiuuuuww….”
semilir angin di siang yang mendung melepaskan topi Nina yang tak erat dipasang
di kepalanya. Terbang pendek hingga lima meter di belakangnya, tepat
di hadapan seorang perempuan cantik.
“Kau
menjatuhkannya, manis.” Kata perempuan itu. Nina hendak mendekatinya segera
menggapai topinya dengan sedikit membungkuk. Ketika sudah berdiri dan memasang
topi di kepalanya lagi, ia terpana dengan wajah perempuan muda itu. Seperti
boneka. Kulit licin dan mata yang berkilau. Mata itu seperti mataku, pikirnya. Mata
kanan yang berkilau sedangkan mata kiri ditutup dengan kain.
“Maaf..
a-aku baru di sini. Nina.” Sembari langsung menyebutkan namanya tanpa ditanya.
Tapi
Nina sedikit gelisah saat perempuan itu menatapnya tajam. Ia seperti diselidiki
dan dilahap habis-habis. “Nama yang menarik, tak jauh dari namaku. Aku Ana.”
Tanggapnya dengan suara datar yang menggema. Itu tak membuat Nina terkesan lagi
dengan wajahnya yang mirip boneka.
“Ia.
Sungguh kebetulan, A-ana nn-aama yang ba-bagus.” Nina terbata-bata berucap. Ia
tak tahu apa yang membuatnya gugup. Entah pandangan perempuan itu, entah suaranya,
entah mata kirinya yang ditutup dengan kain.
“Tak
kebetulan, manis. Mungkin pertemuan dan kemiripan satu kosa kata nama kita
bertanda sesuatu. Apalagi kesamaan warna dan
pancaran mata kita.” Katanya lagi dengan
masih bergumam.
Nina tak
mengerti maksud perkataannya. Yang ia mengerti adalah perempuan ini membuatnya
takut. Ia jadi teringat dengan pesan ibunya, “Jangan bicara dengan orang asing,
zaman sekarang orang Indonesia sudah aneh-aneh, tak bisa begitu saja
dipercaya.” Akhirnya Nina mengambil langkah menuju rumahnya tanpa berpamitan
dengan perempuan itu.
“Aku tak
mau bertemu dengannya lagi, dia mungkin wanita pencuri gadis kecil untuk
dijadikan pengamen di perempatan atau dikirim ke warung remang-remang.” Katanya
dalam hati sambil berjalan cepat-cepat, hampir berlari. Ia tak mau terlihat
takut oleh perempuan itu dan membuat perempuan itu suka dengan ketakutannya. Ia
tak tahu persis apa arti warung remang-remang, ia hanya tahu dari ayahnya
tempat itu sangat buruk untuk gadis-gadis.
Di ujung
jalan ia menoleh ke belakang, memastikan ia tak diuntit si Ana tadi. Kesamaan
kosa kata namanya dan perempuan itu semakin membikin bulu kuduknya tak berhenti
berdiri. Setelah mengetahui tak diikuti Nina memutuskan berlari
sekencang-kencangnya agar tiba di halaman rumah barunya.
“Mama,
ada orang aneh. Nina gak mau ke taman itu lagi.” Tangisnya dalam hati. Ya, ia
menangis dalam hati. Ketakutan telah menenggelamkan air matanya ke dalam, tak
keluar seperti biasa saat ia jatuh dari sepeda pekan lalu.
Benar-benar,
Nina berhenti juga. “Aku ke mana ini? Sepertinya ini bukan jalan menuju rumah.”
Ia menyadari bahwa ia salah jalan. Seharusnya ia minta izin terlebih dahulu
kepada orang tuanya sebelum jalan-jalan mengitari komplek.
“Aku gak
boleh tersesat. Haha.. seharusnya gak jadi masalah. Ini kan komplek hanya ada
jalan-jalan besar, nanti kalau aku menemukan jalan yang sudah aku lalui tentu
aku bisa pulang dan makan siang bersama mama papa di rumah baru.” Dia mencoba
menghibur diri agar tak panik.
Nina
memutuskan tetap berjalan dengan tenang, berbelok tiap ada
persimpangan jalan. Ia mengingat rumahnya kira-kira berada di selatan jadi ia
mencoba terus berjalan ke selatan. Tentu baiknya bertanya kepada orang setempat
dan meminta diantar pulang saja dari pada capai berjalan tak tentu seperti ini,
namun apa? Sepanjang jalan yang dilaluinya tak seorang pun terlihat, yang ada
hanya mobil sesekali lewat. Dan sangat tidak mungkin Nina memberhentikan mobil
yang melaju cepat itu. Sungguh sepi komplek ini, batinnya.
Nina
tetap tegar walau bibirnya mulai gemetaran. Siang itu memang tak panas, musim
hujan tengan dijalani. Syukurnya tak lagi turun hujan. Awan hitam yang tebal
dan hembusan angin mengingatkannya dengan film yang ditontong rabu lalu. Dalam
film itu, seorang anak tinggal di wisma tua yang berada di pegunugan. Anak itu
bermain-main ke kebun teh milik seorang juragan, lalu yang ia tahu saat hujan
mulai turun anak itu diculik dan dijadikan santapan malam juragan itu. Juragan itu
ternyata pemakan daging manusia untuk tetap muda. Sangat naas nasib anak itu, pikirnya setelah menonton film itu.
Ia berpikir nasibnya akan sama dengan
anak yang bermain di kebut teh itu. Nina pun benar-benar menangis, membasahi
pipinya perlahan. Kadang masuk ke dalam mulutnya yang ternganga, terasa asin.
Bahkan
ia tak membawa jam untuk melihat waktu. Kakinya mulai pegal, ia memutuskan
berhenti dan duduk di trotoar. HA!! Nina kaget. Tepat ditrotoar ia duduk
terpampang besar-besar ANA PERNIK. Seluruh bulu kuduknya bagai menjalar dipunggungnya.
“Apa
ini? Ana Pernik? Ana? Ana. Ana!” serunya berulang-ulang. Ia ingat perempuan
yang ditemuainya beberapa menit lalu. Ia langsung berdiri dan melihat bangunan
itu, ternyatas sebuat toko pernik. Terlihat di balik kaca toko ada boneka.
Nina
mendekati toko tersebut dan memastikan rupa boneka itu. Sekali lagi ia
terkejut. Mata boneka itu seperti mata perempuan yang ditemuinya di taman,
matanya tertutup satu. Akan tetapi yang ditutupi sebelah kanan.
Entah
apa yang ada dalam pikirannya, Nina masuk ke dalam toko itu dengan pelan.
Ruangannya tak begitu terang.
“Terang lampunya seperti lampu tidurku.” Komentarnya ketika
merasa lampu toko ini tak seperti lampu toko-toko pernik lainnya.
“Halo
manis.” Sapa perempuan yang keluar dari tirai merah. Lagi-lagi Nina kaget
dengan sapa perempuan itu, air matanya berhenti dan mengering di pipinya.
“Selamat
datang anak manis, matamu sangat cantik. Kita memiliki kesamaan.” Kata Ana.
“Kamu
siapa? Kamu mengikutiku ya? Maumu apa?” Tanya Nina. Ia rasa si Mbak Ana yang
membuatnya tak bisa pulang, ia tak tahu alasannya apa.
“Sudahlah manis, mari duduk dulu. Kau pasti capek berjalan, aku sudah buatkan sirup merah. Kau pasti suka.”
Nina
teringat dengan kata-kata mamanya lagi “Jangan meminum minuman yang dikasih cuma-cuma
oleh orang Indonesia yang tak dikenal.”
“Gak
mau. Aku mau pulang. aku gak mau di sini.” Tegas Nina sembari langsung berbalik
dan membuka pintu. Pintu ternyata tak semudah di buka saat masuk, tak bisa
dibuka. Apa di kunci? Tapi yang Nina tahu tak ada orang yang sempat ke pintu
itu untuk mengunci pintu. Ia hanya dua menit di dalam toko itu dan dengan
sekejab pintu itu sudak terkunci.
“Kamu
siapa? Kenapa kamu melakukan ini kepadaku. Aku gak mau jadi pengamen, aku gak
mau ke remang-remang.” Rengek Nina sambil menggenggam gagang pintu yang tak
terbuka.
“Biarkan
aku keluar. Aku mau pulang.” Nina memohon dengan wajah memelas. Itu tak membuat
Ana peduli sedikit pun.
“Kau tak
kan pulang sebelum memberika mata itu padaku!” Nada bicara Ana meninggi
seperti memerintah.
Nina
mulai ketakutan, ia teringan boneka yang terpajang di balik kaca toko.
“boneka
di balik kaca toko yang tergantung itu apa?” Tanya Nina ketakutan.
“Itu
adalah kau, manis. Jika kau memberikan mata kirimu padaku dan mata kananmu
untuk boneka itu. Maka sempurnalah Ana Nina bersaudara. Kau akan hidup dalam
boneka itu. Aku anak tunggal, tapi aku ingin punya saudara dan aku menciptakan
boneka itu. Saat aku pasangkan mata kiriku pada boneka itu ternyata dia tak
hidup juga. Satu-satunya jalan adalah melengkapi mata itu menjadi sepasang
dengan mendapatkan satu mata lagi dari orang lain, dan orang lain itu adalah
kau. Nina saudariku. Mantraku akan
berhasil jika kau menyerahkan mata cantik itu.” Penjelasan bertele-tele
perempuan itu menambah takut Nina, ia ingin ngompol tapi tertahan begitu saja.
“Aku bukan saudaramu. Aku tak ingin punya saudara, apalagi
sepertimu Aku tak mau memberikan mataku padamu, orang aneh!”
Kata-kata
terakhir Nina membuat Ana marah. Ana mengambil sendok besi yang tergeletak di
meja. Benar, ia akan mencongkel mata Nina dengan sendok itu.
Nina yang ketakutan tak bisa bergerak
ternyata, badannya serasa kaku, dan Ana semakin dekat dengan matanya. Dan
sekarang tepat lima sentimeter di depan mata Nina. Ia tetap mematung, agaknya
Ana telah melakukan sesuatu pada Nina. Air mata tak bisa lagi keluar dari mata
Nina, seakan terkuras habis sepanjang jalan tadi.
Sendok
itu telah menyentuk bagian bawah mata Nina, perlahan tapi pasti sendok itu
didorong Ana ke dalam hingga terasa oleh Nina dingin dan sakit tak tertahankan.
Nina tetap tak berbuat karena memang Ana telah membuat Nina lumpuh, mungkin dengan
mantra.
Sendok
itu akhirnya benar-benar mencongkel mata Nina dan mengeluarkannya dari
tengkorak Nina. Sekarang Nina tak dapat melihat lagi. Kedua mata Nina telah
digenggaman Ana.
Di
kegelapan Nina mendengar tawa licik, itu adalah tawa Ana. Nina tak sanggup
menahan sakit, ia tak bisa berteriak, ia tak bisa menggapai sesuatu, ia tak
bisa kabur. Yang terjadi hanya matra tadi telah dilepaskan dari tubuh Nina dan
ia terkulai jatuh kelantai. Ia masih bisa merasakan dinginnya lantai dan
mendengar tawa Ana. Tawa itu semakin jauh dan akhrirnya menghilang begitu saja.
Mungkin
Ana telah mengambil boneka yang terpajang di kaca toko dan memasangkan mata
kanan Nina ke boneka itu. Juga memasangkan mata kiri Nina padanya.
Nina
telah tergeletak di dalam toko pernik yang tak diperhatikan oleh orang lain.
Karena toko itu memang telah ditutup beberapa tahun lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar