Jumat, 20 Desember 2013

CERPEN


Mata Nina Mata Ana

Topi jerami buatan hadiah nenek melekat di kepala Nina, baju terusan bermotif bunga-bunga menghiasi tampakannya. Siang setelah keluarganya menempati rumah baru, Nina hendak berjalan-jalan mengitari komplek, dan ia menemukan taman yang indah. Ia sangat suka taman. Apalagi ada papan seluncur dan berbagai wahana sederhana lainnya. Yang tak kalah menarik perhatiannya adalah bangku di bawah pepohonan rindang. Ia tahu besok-besok kalau ke sini lagi ia akan duduk di bangku tersebut.

            Taman yang sejuk, deretan pohon dan puluhan bunga mekar menawan di sana. Nina telah menemukan dirinya “Ini akan menjadi tempat favoritku.”

            “Fiiiuuuuww….” semilir angin di siang yang mendung melepaskan topi Nina yang tak erat dipasang di kepalanya. Terbang pendek hingga lima meter di belakangnya, tepat di hadapan seorang perempuan cantik.

            “Kau menjatuhkannya, manis.” Kata perempuan itu. Nina hendak mendekatinya segera menggapai topinya dengan sedikit membungkuk. Ketika sudah berdiri dan memasang topi di kepalanya lagi, ia terpana dengan wajah perempuan muda itu. Seperti boneka. Kulit licin dan mata yang berkilau. Mata itu seperti mataku, pikirnya. Mata kanan yang berkilau sedangkan mata kiri ditutup dengan kain.

            “Maaf.. a-aku baru di sini. Nina.” Sembari langsung menyebutkan namanya tanpa ditanya.

            Tapi Nina sedikit gelisah saat perempuan itu menatapnya tajam. Ia seperti diselidiki dan dilahap habis-habis. “Nama yang menarik, tak jauh dari namaku. Aku Ana.” Tanggapnya dengan suara datar yang menggema. Itu tak membuat Nina terkesan lagi dengan wajahnya yang mirip boneka.

            “Ia. Sungguh kebetulan, A-ana nn-aama yang ba-bagus.” Nina terbata-bata berucap. Ia tak tahu apa yang membuatnya gugup. Entah pandangan perempuan itu, entah suaranya, entah mata kirinya yang ditutup dengan kain.

            “Tak kebetulan, manis. Mungkin pertemuan dan kemiripan satu kosa kata nama kita bertanda sesuatu. Apalagi kesamaan warna dan pancaran mata kita.” Katanya lagi dengan masih bergumam.

            Nina tak mengerti maksud perkataannya. Yang ia mengerti adalah perempuan ini membuatnya takut. Ia jadi teringat dengan pesan ibunya, “Jangan bicara dengan orang asing, zaman sekarang orang Indonesia sudah aneh-aneh, tak bisa begitu saja dipercaya.” Akhirnya Nina mengambil langkah menuju rumahnya tanpa berpamitan dengan perempuan itu.

            “Aku tak mau bertemu dengannya lagi, dia mungkin wanita pencuri gadis kecil untuk dijadikan pengamen di perempatan atau dikirim ke warung remang-remang.” Katanya dalam hati sambil berjalan cepat-cepat, hampir berlari. Ia tak mau terlihat takut oleh perempuan itu dan membuat perempuan itu suka dengan ketakutannya. Ia tak tahu persis apa arti warung remang-remang, ia hanya tahu dari ayahnya tempat itu sangat buruk untuk gadis-gadis.

            Di ujung jalan ia menoleh ke belakang, memastikan ia tak diuntit si Ana tadi. Kesamaan kosa kata namanya dan perempuan itu semakin membikin bulu kuduknya tak berhenti berdiri. Setelah mengetahui tak diikuti Nina memutuskan berlari sekencang-kencangnya agar tiba di halaman rumah barunya.

            “Mama, ada orang aneh. Nina gak mau ke taman itu lagi.” Tangisnya dalam hati. Ya, ia menangis dalam hati. Ketakutan telah menenggelamkan air matanya ke dalam, tak keluar seperti biasa saat ia jatuh dari sepeda pekan lalu.

            Benar-benar, Nina berhenti juga. “Aku ke mana ini? Sepertinya ini bukan jalan menuju rumah.” Ia menyadari bahwa ia salah jalan. Seharusnya ia minta izin terlebih dahulu kepada orang tuanya sebelum jalan-jalan mengitari komplek.

            “Aku gak boleh tersesat. Haha.. seharusnya gak jadi masalah. Ini kan komplek hanya ada jalan-jalan besar, nanti kalau aku menemukan jalan yang sudah aku lalui tentu aku bisa pulang dan makan siang bersama mama papa di rumah baru.” Dia mencoba menghibur diri agar tak panik.

            Nina memutuskan tetap berjalan dengan tenang, berbelok tiap ada persimpangan jalan. Ia mengingat rumahnya kira-kira berada di selatan jadi ia mencoba terus berjalan ke selatan. Tentu baiknya bertanya kepada orang setempat dan meminta diantar pulang saja dari pada capai berjalan tak tentu seperti ini, namun apa? Sepanjang jalan yang dilaluinya tak seorang pun terlihat, yang ada hanya mobil sesekali lewat. Dan sangat tidak mungkin Nina memberhentikan mobil yang melaju cepat itu. Sungguh sepi komplek ini, batinnya.

            Nina tetap tegar walau bibirnya mulai gemetaran. Siang itu memang tak panas, musim hujan tengan dijalani. Syukurnya tak lagi turun hujan. Awan hitam yang tebal dan hembusan angin mengingatkannya dengan film yang ditontong rabu lalu. Dalam film itu, seorang anak tinggal di wisma tua yang berada di pegunugan. Anak itu bermain-main ke kebun teh milik seorang juragan, lalu yang ia tahu saat hujan mulai turun anak itu diculik dan dijadikan santapan malam juragan itu. Juragan itu ternyata pemakan daging manusia untuk tetap muda. Sangat naas nasib anak itu, pikirnya setelah menonton film itu.

            Ia berpikir nasibnya akan sama dengan anak yang bermain di kebut teh itu. Nina pun benar-benar menangis, membasahi pipinya perlahan. Kadang masuk ke dalam mulutnya yang ternganga, terasa asin.

            Bahkan ia tak membawa jam untuk melihat waktu. Kakinya mulai pegal, ia memutuskan berhenti dan duduk di trotoar. HA!! Nina kaget. Tepat ditrotoar ia duduk terpampang besar-besar ANA PERNIK. Seluruh bulu kuduknya bagai menjalar dipunggungnya.

            “Apa ini? Ana Pernik? Ana? Ana. Ana!” serunya berulang-ulang. Ia ingat perempuan yang ditemuainya beberapa menit lalu. Ia langsung berdiri dan melihat bangunan itu, ternyatas sebuat toko pernik. Terlihat di balik kaca toko ada boneka.

            Nina mendekati toko tersebut dan memastikan rupa boneka itu. Sekali lagi ia terkejut. Mata boneka itu seperti mata perempuan yang ditemuinya di taman, matanya tertutup satu. Akan tetapi yang ditutupi sebelah kanan.

            Entah apa yang ada dalam pikirannya, Nina masuk ke dalam toko itu dengan pelan. Ruangannya tak begitu terang.

            “Terang lampunya seperti lampu tidurku.” Komentarnya ketika merasa lampu toko ini tak seperti lampu toko-toko pernik lainnya.

            “Halo manis.” Sapa perempuan yang keluar dari tirai merah. Lagi-lagi Nina kaget dengan sapa perempuan itu, air matanya berhenti dan mengering di pipinya.

            “Selamat datang anak manis, matamu sangat cantik. Kita memiliki kesamaan.” Kata Ana.

            “Kamu siapa? Kamu mengikutiku ya? Maumu apa?” Tanya Nina. Ia rasa si Mbak Ana yang membuatnya tak bisa pulang, ia tak tahu alasannya apa.

            “Sudahlah manis, mari duduk dulu. Kau pasti capek berjalan, aku sudah buatkan sirup merah. Kau pasti suka.”

            Nina teringat dengan kata-kata mamanya lagi “Jangan meminum minuman yang dikasih cuma-cuma oleh orang Indonesia yang tak dikenal.”

            “Gak mau. Aku mau pulang. aku gak mau di sini.” Tegas Nina sembari langsung berbalik dan membuka pintu. Pintu ternyata tak semudah di buka saat masuk, tak bisa dibuka. Apa di kunci? Tapi yang Nina tahu tak ada orang yang sempat ke pintu itu untuk mengunci pintu. Ia hanya dua menit di dalam toko itu dan dengan sekejab pintu itu sudak terkunci.

            “Kamu siapa? Kenapa kamu melakukan ini kepadaku. Aku gak mau jadi pengamen, aku gak mau ke remang-remang.” Rengek Nina sambil menggenggam gagang pintu yang tak terbuka.

            “Biarkan aku keluar. Aku mau pulang.” Nina memohon dengan wajah memelas. Itu tak membuat Ana peduli sedikit pun.
            “Kau tak kan pulang sebelum memberika mata itu padaku!” Nada bicara Ana meninggi seperti memerintah.

            Nina mulai ketakutan, ia teringan boneka yang terpajang di balik kaca toko.

            “boneka di balik kaca toko yang tergantung itu apa?” Tanya Nina ketakutan.

            “Itu adalah kau, manis. Jika kau memberikan mata kirimu padaku dan mata kananmu untuk boneka itu. Maka sempurnalah Ana Nina bersaudara. Kau akan hidup dalam boneka itu. Aku anak tunggal, tapi aku ingin punya saudara dan aku menciptakan boneka itu. Saat aku pasangkan mata kiriku pada boneka itu ternyata dia tak hidup juga. Satu-satunya jalan adalah melengkapi mata itu menjadi sepasang dengan mendapatkan satu mata lagi dari orang lain, dan orang lain itu adalah kau. Nina saudariku. Mantraku akan berhasil jika kau menyerahkan mata cantik itu.” Penjelasan bertele-tele perempuan itu menambah takut Nina, ia ingin ngompol tapi tertahan begitu saja.

            “Aku bukan saudaramu. Aku tak ingin punya saudara, apalagi sepertimu Aku tak mau memberikan mataku padamu, orang aneh!”

            Kata-kata terakhir Nina membuat Ana marah. Ana mengambil sendok besi yang tergeletak di meja. Benar, ia akan mencongkel mata Nina dengan sendok itu.

             Nina yang ketakutan tak bisa bergerak ternyata, badannya serasa kaku, dan Ana semakin dekat dengan matanya. Dan sekarang tepat lima sentimeter di depan mata Nina. Ia tetap mematung, agaknya Ana telah melakukan sesuatu pada Nina. Air mata tak bisa lagi keluar dari mata Nina, seakan terkuras habis sepanjang jalan tadi.

            Sendok itu telah menyentuk bagian bawah mata Nina, perlahan tapi pasti sendok itu didorong Ana ke dalam hingga terasa oleh Nina dingin dan sakit tak tertahankan. Nina tetap tak berbuat karena memang Ana telah membuat Nina lumpuh, mungkin dengan mantra.

            Sendok itu akhirnya benar-benar mencongkel mata Nina dan mengeluarkannya dari tengkorak Nina. Sekarang Nina tak dapat melihat lagi. Kedua mata Nina telah digenggaman Ana.

            Di kegelapan Nina mendengar tawa licik, itu adalah tawa Ana. Nina tak sanggup menahan sakit, ia tak bisa berteriak, ia tak bisa menggapai sesuatu, ia tak bisa kabur. Yang terjadi hanya matra tadi telah dilepaskan dari tubuh Nina dan ia terkulai jatuh kelantai. Ia masih bisa merasakan dinginnya lantai dan mendengar tawa Ana. Tawa itu semakin jauh dan akhrirnya menghilang begitu saja.

            Mungkin Ana telah mengambil boneka yang terpajang di kaca toko dan memasangkan mata kanan Nina ke boneka itu. Juga memasangkan mata kiri Nina padanya.


            Nina telah tergeletak di dalam toko pernik yang tak diperhatikan oleh orang lain. Karena toko itu memang telah ditutup beberapa tahun lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar