PERKEMBANGAN PROFESI AKUNTAN
Perkembangan
profesi akuntan di Indonesia menurut Baily, perkembangan profesi
akuntan dapat dibagi ke dalam 4 periode yaitu:
1. Pra Revolusi
Industri
Sebelum revolusi industri, profesi akuntan belum dikenal secara resmi di
Amerika ataupun di Inggris. Namun terdapat beberapa fungsi dalam manajemen
perusahaan yang dapat disamakan dengan fungsi pemeriksaan.
Misalnya di zaman dahulu dikenal adanya dua juru tulis yang bekerja
terpisah dan independen. Mereka bekerja untuk menyakinkan bahwa peraturan tidak
dilanggar dan merupakan dasar untuk menilai pertanggungjawaban pegawainya atas
penyajian laporan keuangan
Hasil kerja kedua juru tulis ini kemudian dibandingkan, dari hasil
perbandingan tersebut jelas sudah terdapat fungsi audit dimana pemeriksaan
dilakukan 100%. Tujuan audit pada masa ini adalah untuk membuat dasar
pertanggungjawaban dan pencarian kemungkinan terjadinya penyelewengan. Pemakai
jasa audit pada masa ini adalah hanya pemilik dana.
2. Masa Revolusi Industri Tahun 1900
Sebagaimana pada periode sebelumnya pendekatan audit masih bersifat 100%
dan fungsinya untuk menemukan kesalahan dan penyelewengan yang terjadi. Namun
karena munculnya perkembangan ekonomi setelah revolusi industri yang banyak
melibatkan modal, faktor produksi, serta organisasi maka kegiatan produksi
menjadi bersifat massal.
Sistem akuntansi dan pembukuan pada masa ini semakin rapi. Pemisahan antara hak
dan tanggung jawab manajer dengan pemilik semakin kentara dan pemilik umumnya
tidak banyak terlibat lagi dalam kegiatan bisnis sehari-hari dan muncullah
kepentingan terhadap pemeriksaan yang mulai mengenal pengujian untuk mendeteksi
kemungkinan penyelewengan.
Umumnya pihak yang ditunjuk adalah pihak yang bebas dari pengaruh kedua belah
pihak yaitu pihak ketiga atau sekarang dikenal dengan sebutan auditor
eksternal. Kepentingan akan pemeriksaan pada masa ini adalah pemilik dan
kreditur.
Secara resmi di Inggris telah dikeluarkan undang-undang Perusahaan tahun
1882, dalam peraturan ini diperlukan adanya pemeriksaan yang dilakukan oleh
pemeriksan independen untuk perusahaan yang menjual saham. Inilah asal
mula profesi akuntan secara resmi.
3. Tahun 1900 –
1930
Sejak tahun 1900 mulai muncul perusahaan-perusahaan besar baru dan
pihak-pihak lain yang mempunyai kaitan kepentingan terhadap perusahaan
tersebut. Keadaan ini menimbulkan perubahan dalam pelaksanaan tujuan audit.
Pelaksanaan audit mulai menggunakan pemeriksaan secara testing/ pengujian
karena semakin baiknya sistem akuntansi/ administrasi pembukuan perusahaan, dan
tujuan audit bukan hanya untuk menemukan penyelewengan terhadap kebenaran
laporan Neraca dan laporan Laba Rugi tetapi juga untuk menentukan kewajaran
laporan keuangan. Pada masa ini yang membutuhkan jasa pemeriksaan
bukan hanya pemilik dan kreditor, tetapi juga pemerintah dalam menentukan
besarnya pajak.
4. Tahun 1930 –
Sekarang
Sejak tahun 1930 perkembangan bisnis terus merajalela, demikian juga
perkembangan sistem akuntansi yang menerapkan sistem pengawasan intern yang
baik. Pelaksanaan auditpun menjadi berubah dari pengujian dengan persentase
yang masih tinggi menjadi persentase yang lebih kecil (sistem statistik
sampling). Tujuan auditpun bukan lagi menyatakan kebenaran tetapi menyatakan
pendapat atas kewajaran laporan keuangan yang terdiri dari Neraca dan Laba Rugi
serta Laporan Perubahan Dana. Yang membutuhkan laporan akuntanpun
menjadi bertambah yaitu: pemilik, kreditor, pemerintah, serikat buruh,
konsumen, dan kelompok-kelompok lainnya seperti peneliti, akademisi dan
lain-lain.
Peran besar akuntan dalam dunia usaha sangat membantu pihak
yangmembutuhkan laporan keuangan perusahaan dalam menilai keadaan
perusahaan tersebut. Hal ini menyebabkan pemerintah AS mengeluarkan hukum
tentang perusahaan Amerika yang menyatakan bahwa setiap perusahaan terbuka
Amerika harus diperiksa pembukuannya oleh auditor independen dari Certified
Public Accounting Firm (kantor akuntan bersertifikat).
Namun pada tahun 2001 dunia akuntan dikejutkan dengan berita terungkapnya
kondisi keuangan Enron Co. yang dilaporkannya yang terutama didukung oleh
penipuan akuntansi yang sistematis, terlembaga, dan direncanakan secara
kreatif. Para analis pasar mengira bahwa sukses kinerja keuangan Enron di masa
lalu hanyalah hasil rekayasa keuangan Andersen sebagai auditornya.
Kepercayaan terhadap akuntan mulai merosot tajam pada awal tahun 2002, hal
ini membuat dampak yang sangat besar terhadap kantor akuntan lain. Untuk
mencegah hal yang lebih parah, pemerintah AS pada saat itu segera mengevaluasi
hampir semua kantor akuntan termasuk “the big four auditors”. Walaupun masih
mendapat cacian dari berbagai kalangan, para akuntan berusaha untuk memulihkan
nama mereka, salah satu caranya adalah dengan mematuhi kode etik akuntan.
Perkembangan
profesi akuntan di Indonesia menurut Olson dapat dibagi dalam 2
periode yaitu:
1) Periode Kolonial
Selama masa penjajahan kolonial Belanda yang menjadi anggota profesi
akuntan adalah akuntan-akuntan Belanda dan beberapa akuntan Indonesia.
Pada waktu itu pendidikan yang ada bagi rakyat pribumi adalah pendidikan tata
buku diberikan secara formal pada sekolah menengah atas sedangkan secara non
formal pendidikan akuntansi diberikan pada kursus tata buku untuk memperoleh ijazah.
2) Periode
Sesudah Kemerdekaan
Pembahasan mengenai perkembangan akuntan sesudah kemerdekaan di bagi ke
dalam enam periode yaitu:
Periode I [sebelum tahun 1954]
Pada periode I
telah ada jasa pekerjaan akuntan yang bermanfaat bagi masyarakat bisnis. Hal
ini disebabkan oleh hubungan ekonomi yang makin sulit, meruncingnya persaingan,
dan naiknya pajak-pajak para pengusaha sehingga makin sangat dirasakan
kebutuhan akan penerangan serta nasehat para ahli untuk mencapai perbaikan
dalam sistem administrasi perusahaan. Sudah tentu mereka hendak menggunakan
jasa orang-orang yang ahli dalam bidang akuntansi. Kebutuhan akan bantuan
akuntan yang makin besar itu menjadi alasan bagi khalayak umum yang tidak
berpengetahuan dan berpengalaman dalam lapangan akuntansi untuk bekerja sebagai
akuntan. Padahal, pengetahuan yang dimiliki akuntan harus sederajat dengan
syarat yang ditetapkan oleh pemerintah dan juga mereka harus mengikuti
pelajaran pada perguruan tinggi negeri dengan hasil baik. Oleh karena itu,
pemerintah menetapkan peraturan dengan undang-undang untuk melindungi ijazah
akuntan agar pengusaha dan badan yang lain tidak tertipu oleh pemakaian gelar
“akuntan” yang tidak sah.
Periode II [tahun 1954 – 1973]
Setelah adanya Undang-Undang No. 34 tahun 1954 tentang pemakaian gelar
akuntan, ternyata perkembangan profesi akuntan dan auditor
di Indonesiaberjalan lamban karena perekonomian Indonesia pada
saat itu kurang menguntungkan namun perkembangan ekonomi mulai pesat pada saat
dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Mengingat
terbatasnya tenaga akuntan dan ajun akuntan yang menjadi auditor pada waktu
itu, Direktorat Akuntan Negara meminta bantuan kantor akuntan publik untuk
melakukan audit atas nama Direktorat Akuntan Negara. Perluasan pasar profesi
akuntan publik semakin bertambah yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan
Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMND) tahun 1967/1968. Meskipun pada waktu itu para pemodal “membawa” akuntan
publik sendiri dari luar negeri kebutuhan terhadap jasa akuntan publik dalam
negeri tetap ada. Profesi akuntan publik mengalami perkembangan yang berarti
sejak awal tahun 70-an dengan adanya perluasan kredit-kredit perbankan kepada
perusahaan. Bank-bank ini mewajibkan nasabah yang akan menerima kredit dalam
jumlah tertentu untuk menyerahkan secara periodik laporan keuangan yang telah
diperiksa akuntan publik. Pada umumnya, perusahaan-perusahaan swasta
di Indonesia baru memerlukan jasa akuntan publik jika kreditur
mewajibkan mereka menyerahkan laporan keuangan yang telah diperiksa oleh
akuntan publik.
Periode III [tahun 1973 – 1979]
M. Sutojo pada Konvensi Nasional Akuntansi I di Surabaya Desember 1989
menyampaikan hasil penelitiannya mengenai: Pengembangan Pengawasan Profesi
Akuntan Publik di Indonesia, bahwa profesi akuntan publik ditandai dengan satu
kemajuan besar yang dicapai Ikatan Akuntan Indonesia dengan diterbitkannya buku
Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) dan Norma Pemeriksaan Akuntan (NPA) dalam
kongres Ikatan Akuntan Indonesia di Jakarta tanggal 30 November – 2 Desember
1973. Dengan adanya prinsip dan norma ini, profesi akuntan publik telah maju
selangkah lagi karena memiliki standar kerja dalam menganalisa laporan keuangan
badan-badan usaha di Indonesia. Dalam kongres tersebut disahkan pula Kode Etik
Akuntan Indonesia sehingga lengkaplah profesi akuntan publik memiliki
perangkatnya sebagai suatu profesi. Dengan kelengkapan perangkat ini,
pemerintah berharap profesi akuntan publik akan menjadi lembaga penunjang yang
handal dan dapat dipercaya bagi pasar modal dan pasar uang di Indonesia. Pada
akhir tahun 1976 Presiden Republik Indonesia dalam surat keputusannya nomor
52/1976, menetapkan pasar modal yang pertama kali sejak memasuki masa Orde
Baru. Dengan adanya pasar modal di Indonesia, kebutuhan akan profesi akuntan
publik meningkat pesat. Keputusan ini jika dilihat dari segi ekonomi memang
ditujukan untuk pengumpulan modal dari masyarakat, tetapi tindakan ini juga
menunjukkan perhatian pemerintah yang begitu besar terhadap profesi akuntan
publik. Menurut Katjep dalam “The Perception of Accountant and Accounting
Profession in Indonesia” yang dipertahankan tahun 1982 di Texas, A&M
University menyatakan bahwa profesi akuntan publik dibutuhkan untuk mengaudit
dan memberikan pendapat tanpa catatan (unqualified opinion) pada laporan
keuangan yang go public atau memperdagangkan sahamnya di pasar modal. Untuk
lebih mengefektifkan pengawasan terhadap akuntan publik, pada tanggal 1 Mei
1978 dibentuk Seksi Akuntan Publik (IAI-SAP) yang bernaung di bawah IAI. Sampai
sekarang seksi yang ada di IAI, selain seksi akuntan publik, adalah seksi
akuntan manajemen dan seksi akuntan pendidik. Sophar Lumban Toruan pada tahun
1989 mengatakan bahwa pertambahan jumlah akuntan yang berpraktek terus meningkat
sehingga Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan dengan IAI membuat
pernyataan bersama yang mengatur hal-hal berikut:
a) Kesepakatan untuk pemakaian PAI dan NPA sebagai suatu landasan objektif
yang diterima oleh semua pihak.
b) Kepada wajib pajak badan dianjurkan agar laporan keuangan diperiksa
terlebih dahulu oleh akuntan publik sebelum diserahkan kepada Kantor Inspeksi
Pajak (sekaran Kantor Pelayanan Pajak). Laporan tersebut akan dipergunakan
sebagai dasar penetapan pajak.
c) Kalau terjadi penyimpangan etika profesi (professional conduct) oleh
seorang akuntan publik, akan dilaporkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada IAI
untuk diselidiki yang berguna dalam memutuskan pengenaan sanksi. Kesepakatan
ini kemudian dikuatkan oleh Instruksi Presiden No. 6 tahun 1979 dan Keputusan
Menteri Keuangan No. 108/1979 tanggal 27 Maret 1979 yang menggariskan bahwa
laporan keuangan harus didasarkan pada pemeriksaan akuntan publik dan mengikuti
PAI. Maksud instruksi dan surat keputusan tersebut adalah untuk merangsang
wajib pajak menggunakan laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan
publik, dengan memberikan keringanan pembayaran pajak perseroan dan memperoleh
pelayanan yang lebih baik di bidang perpajakan. Keputusan ini dikenal dengan
nama 27 Maret 1979. Ini merupakan keputusan yang penting dalam sejarah
perkembangan profesi akuntan publik dan sekaligus sebagai batu ujian bagi
akuntan publik dan masyarakat pemakainya.
Periode IV [tahun 1979 – 1983]
Periode ini merupakan periode suram bagi profesi akuntan publik dalam
pelaksanaan paket 27 Maret. Tiga tahun setelah kemudahan diberikan pemerintah
masih ada akuntan publik tidak memanfaatkan maksud baik pemerintah tersebut.
Beberapa akuntan publik melakukan malpraktik yang sangat merugikan penerimaan
pajak yaitu dengan cara bekerjasama dengan pihak manajemen perusahaan melakukan
penggelapan pajak. Ada pula akuntan publik yang tidak memeriksa kembali laporan
keuangan yang diserahkan oleh perusahaan atau opini akuntan tidak disertakan
dalam laporan keuangan yang diserahkan ke kantor inspeksi pajak.
Periode V [tahun 1983 – 1989]
Periode ini dapat dilihat sebagai periode yang berisi upaya konsolidasi
profesi akuntan termasuk akuntan publik. PAI 1973 disempurnakan dalam tahun
1985, disusul dengan penyempurnaan NPA pada tahun 1985, dan penyempurnaan kode
etik dalam kongres ke V tahun 1986. Setelah melewati masa-masa suram,
pemerintah perlu memberikan perlindungan terhadap masyarakat pemakai jasa
akuntan publik dan untuk mendukung pertumbuhan profesi tersebut. Pada tahun
1986 pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 763/KMK.001/1986
tentang Akuntan Publik. Keputusan ini mengatur bidang pekerjaan akuntan publik,
prosedur dan persyaratan untuk memperoleh izin praktik akuntan publik dan
pendirian kantor akuntan publik beserta sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan
kepada kauntan publik yang melanggar persyaratan praktik akuntan publik. Dengan
keputusan Menteri Keuangan tersebut dibuktikan pula sekali lagi komitmen
pemerintah yang konsisten kepada pengembangan profesi akuntan publik yaitu
dengan mendengar pendapat Ikatan profesi pada kongres ke VI IAI antara lain
mengenai: pengalaman kerja yang perlu dimiliki sebelum praktik; keharusan
akuntan publik fultimer (kecuali mengajar); izin berlaku tanpa batas waktu; kewajiban
pelaporan berkala (tahunan) mengenai kegiatan praktik kepada pemberi izin;
pembukaan cabang harus memenuhi syarat tertentu; izin diberikan kepada individu
bukan kepada kantor; pencabutan izin perlu mendengar pendapat dewan kehormatan
IAI; pemohon harus anggota IAI; pengawasan yang lebih ketat kepada akuntan
asing. Pada tahun 1988 diterbitkan petunjuk pelaksaan keputusan Menteri
Keuangan melalui Keputusan Direktur Jenderal Moneter No. Kep.2894/M/1988
tanggal 21 Maret 1988. Suatu hal yang mendasar dari keputusan tersebut adalah
pembinaan para akuntan publik yang bertujuan:
a)
Membantu
perkembangan profesi akuntan publik di Indonesia
b)
Melaksanakan
penataran bersama IAI atau IAI-seksi akuntan public mengenai hal-hal yang
dianggap perlu diketahui publik (KAP), termasuk mengenai manajemen KAP.
c)
Mengusahakan
agar staf KAP asing yang diperbantukan di Indonesia untuk memberi penataran
bagi KAP lainnya melalui IAI atau IAI-Seksi Akuntan Publik dan membantu
pelaksanaannya.
d)
Memantau
laporan berkala kegiatan tahunan KAP Sebelum diterbitkan Keputusan Direktur
Jenderal Moneter tersebut, pada tahun 1987 profesi akuntan publik telah
mendapatkan tempat terhormat dan strategis dari pemerintah yaitu dengan
dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 859/KMK.01/1987
tentang Emisi Efek melalui Bursa yang telah menentukan bahwa:
1.
Untuk
melakukan emisi efek, emiten harus memenuhi persyaratan, antara lain: mempunyai
laporan keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik/akuntan negara untuk
dua tahun buku terakhir secara berturut-turut dengan pernyataan pendapat “wajar
tanpa syarat” untuk tahun terakhir.
2.
Laporan
keuangan emiten untuk dua tahun terakhir tersebut harus disusun sesuai dengan
PABU di Indonesia disertai dengan laporan akuntan publik/ akuntan negara.
3.
Jangka waktu
antara laporan keuangan dan tanggal pemberian izin emisi efek
tidak boleh melebihi 180 hari. (M. Sutojo, 1989: 10)
Periode VI [tahun 1990 – sekarang]
Dalam periode ini profesi akuntan publik terus berkembang seiring dengan
berkembangnya dunia usaha dan pasar modal di Indonesia. Walaupun demikian,
masih banyak kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh para usahawan dan
akademisi. Namun, keberadaan profesi akuntan tetap diakui oleh pemerintah
sebagai sebuah profesi kepercayaan masyarakat. Di samping adanya dukungan dari
pemerintah, perkembangan profesi akuntan publik juga sangat ditentukan oleh
perkembangan ekonomi dan kesadaran masyarakat akan manfaat jasa akuntan publik.
Beberapa faktor yang dinilai banyak mendorong berkembangnya profesi adalah:
1. Tumbuhnya
pasar modal
2. Pesatnya pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan baik bank maupun nonbank.
3. Adanya kerjasama IAI dengan Dirjen Pajak dalam rangka menegaskan peran
akuntan publik dalam pelaksanaan peraturan perpajakan di Indonesia
4. Berkembangnya penanaman modal asing dan globalisasi kegiatan Perekonomian.
Pada awal 1992
profesi akuntan publik kembali diberi kepercayaan oleh pemerintah (Dirjen
Pajak) untuk melakukan verifikasi pembayaran PPN dan PPn BM yang dilakukan oleh
pengusaha kena pajak. Sejalan dengan perkembangan dunia usaha tersebut, Olson
pada tahun 1979 di dalam Journal Accountanty mengemukakan empat perkembangan
yang harus diperhatikan oleh profesi akuntan yaitu:
I. Makin banyaknya jenis dan jumlah informasi yang tersedia bagi masyarakat
II. Makin baiknya transportasi dan komunikasi
III. Makin disadarinya kebutuhan akan kualitas hidup yang lebih baik
IV. Tumbuhnya perusahaan-perusahaan multinasional sebagai akibat dari fenomena
pertama dan kedua.
Konsekuensi
perkembangan tersebut akan mempunyai dampak terhadap perkembangan akuntansi dan
menimbulkan:
a) Kebutuhan akan upaya memperluas peranan akuntan, ruang lingkup pekerjaan
akuntan publik semakin luas sehingga tidak hanya meliputi pemeriksaan akuntan
dan penyusunan laporan keuangan.
b) Kebutuhan akan tenaga spesialisasi dalam profesi, makin besarnya tanggung
jawab dan ruang lingkup kegiatan klien, mengharuskan akuntan publik untuk
selalu menambah pengetahuaen.
c) Kebutuhan akan standar teknis yang makin tinggi dan rumit, dengan
berkembangnya teknologi informasi, laporan keuangan akan menjadi makin beragam
dan rumit.
Pendapat yang dikemukakan Olson tersebut di atas cukup sesuai dan relevan
dengan fungsi akuntan yang pada dasarnya berhubungan dengan sistem informasi
akuntansi. Dari pemaparan yang telah dikemukakan, profesi akuntan diharapkan
dapat mengantisipasi keadaan untuk pengembangan profesi akuntan di masa yang
akan datang.
Mengapa
Diperlukan Profesi Akuntan Public?
Profesi akuntan publik
diperlukan untuk dapat memberikan penilaian atas kewajaran laporan keuangan agar laporan
keuangan tersebut tidak memberikan
informasi yang menyesatkan kepada masyarakat dan pemakainya. Akuntan
publik dalam melaksanakan pemeriksaan
akuntan, memperoleh kepercayaan dari klien
dan para pemakai laporan keuangan untuk membuktikan kewajaran laporan
keuangan yang disusun dan disajikan oleh klien. Klien dapat mempunyai kepentingan yang berbeda, bahkan mungkin
bertentangan dengan kepentingan para
pemakai laporan keuangan. Demikian pula, kepentingan pemakai laporan keuangan yang satu mungkin berbeda dengan
pemakai lainnya. Oleh karena itu, dalam
memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa, akuntan publik harus bersikap
independen terhadap kepentingan klien, pemakai laporan keuangan, maupun
kepentingan akuntan publik itu sendiri.
Profesi akuntan publik
akan selalu berhadapan dengan dilema yang
mengakibatkan seorang akuntan publik berada pada dua pilihan yang bertentangan. Seorang akuntan publik akan mengalami
suatu dilema ketika tidak terjadi
kesepakatan dengan klien mengenai beberapa aspek dan tujuan pemeriksaan.
Apabila akuntan publik memenuhi tuntutan klien berarti akan melanggar standar pemeriksaan, etika profesi
dan komitmen akuntan publik tersebut
terhadap profesinya, tetapi apabila tidak memenuhi tuntutan klien maka dikhawatirkan akan berakibat pada penghentian
penugasan oleh klien. Kode etik akuntan
indonesia dalam pasal 1 ayat (2) adalah berisi tentang setiap anggota harus
mempertahankan integritas dan objektifitas dalam melaksanakan tugasnya tentang
kualitas atau mutu jasa yang diberikan.
Kurangnya kesadaran
etika akuntan publik dan maraknya manipulasi akuntansi korporat membuat
kepercayaan para pemakai laporan keuangan auditan mulai menurun, sehingga para
pemakai laporan keuangan seperti investor dan kreditur mempertanyakan
eksistensi akuntan publik sebagai pihak independen. Krisis moral dalam dunia
bisnis yang mengemuka akhir-akhir ini adalah kasus Kimia Farma dan Bank Lippo,
dengan melibatkan kantor-kantor akuntan publik yang selama ini diyakini
memiliki kualitas audit tinggi. Kasus Kimia Farma dan Bank Lippo juga berawal
dari terdeteksinya manipulasi dalam laporan keuangan.
Kasus lain yang cukup
menarik adalah kasus audit PT. Telkom yang melibatkan KAP ”Eddy Pianto &
Rekan”, dalam kasus ini laporan keuangan auditan PT. Telkom tidak diakui oleh
SEC (pemegang otoritas pasar modal di Amerika Serikat). Peristiwa ini
mengharuskan dilakukannya audit ulang terhadap PT.Telkom oleh KAP yang lain.
(Trisnaningsih 2007). Perilaku tidak etis dari para akuntan masih tetap ada hal
ini terlihat dari laporan Dewan Kehormatan IAI untuk tiap-tiap periode selalu
adanya kasus pelanggaran etika. Seperti misalnya pada kongres IAI ke-VIII untuk
periode tahun 1994-1998 dilaporkan bahwa pelanggaran tentang obyektivitas,
komunikasi, standar teknis dan kerahasiaan. Di samping diketahui dari laporan
Dewan Kehormatan IAI, pelanggaran-pelanggaran etika yang terjadi kadang kala
tidak sempat dilaporkan atau diadukan atau bahkan lolos dari pengawasan pihak
yang berkompeten.
Pelanggaran-pelanggaran etika yang disebutkan
diatas seakan menjadi titik tolak bagi masyarakat pemakai jasa profesi akuntan
publik untuk menuntut pelanggaran tentang obyektivitas, komunikasi, standar
teknis dan kerahasiaan. Di samping diketahui dari laporan Dewan Kehormatan IAI,
pelanggaran-pelanggaran etika yang terjadi kadang kala tidak sempat dilaporkan
atau diadukan atau bahkan lolos dari pengawasan pihak yang berkompeten.
Pelanggaran-pelanggaran etika yang disebutkan
diatas seakan menjadi titik tolak bagi masyarakat pemakai jasa profesi akuntan
publik untuk menuntut mereka bekerja secara lebih profesional dengan
mengedepankan integritas diri dan profesinya sehingga hasil laporannya
benar-benar adil dan transparan. Hal ini semakin mempengaruhi kepercayaan
terhadap profesi akuntan dan masyarakat semakin menyangsikan komitmen akuntan
terhadap kode etik profesinya. Hal ini seharusnya tidak perlu terjadi atau
dapat diatasi apabila setiap akuntan mempunyai pemahaman, pengetahuan dan
menerapkan etika secara memadai dalam pekerjaan profesionalnya.
Independensi meliputi
kepercayaan terhadap diri sendiri yang terdapat pada beberapa orang
profesional. Hal ini merupakan bagian integritas profesional. Independensi
berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak
lain, tidak tergantung pada orang lain. Seorang auditor dalam melaksanakan
tugasnya memperoleh kepercayaan dari klien dan para pemakai laporan keuangan
untuk membuktikan kewajaran laporan keuangan yang disusun dan disajikan oleh
klien. Klien dapat mempunyai kepentingan yang berbeda, dan mungkin saja
bertentangan dengan kepentingan para pemakai laporan keuangan. Demikian pula,
kepentingan pemakai laporan keuangan yang satu mungkin berbeda dengan pemakai
lainnya. Oleh karena itu, dalam memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan
keuangan yang diperiksa, auditor harus bersikap independen terhadap kepentingan
klien, pemakai laporan keuangan, maupun kepentingan akuntan publik itu sendiri.
Independensi merupakan
sikap mental, yang berarti adanya kejujuran di dalam diri akuntan dalam
mempertimbangkan fakta-fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak
memihak di dalam diri akuntan dalam menyatakan pendapatnya. Serta Independensi
merupakan penampilan, yang berarti adanya kesan masyarakat bahwa akuntan publik
bertindak independen sehingga akuntan publik harus menghindari faktor-faktor
yang dapat mengakibatkan masyarakat meragukan kebebasannya. Independensi
penampilan berhubungan dengan persepsi masyarakat terhadap independensi akuntan
publik, serta berpengaruh terhadap loyalitas seorang auditor dalam menjalankan
tugas profesinya.
Komitmen profesi adalah
tingkat loyalitas individu dalam pelaksanaan aturan yang memberikan pedoman
bagaimana berhubungan dengan klien, masyarakat, sesama rekan akuntan dan
pihak-pihak lain yang berkepentingan. Bagi akuntan publik, sangat penting untuk
meyakinkan kualitas dasar profesionalnya baik kepada klien, masyarakat atau
pemakai jasa. Hal ini disebabkan bahwa semenjak awal tenaga profesional telah
dididik untuk menjalankan tugas-tugas yang kompleks secara independen dan
memecahkan permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan tugas-tugas dengan
menggunakan keahlian dan dedikasi mereka secara profesional.