Senin, 15 Juni 2015

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI

Contoh Sengketa yang Timbul dan Cara Penyelesaiannya 

Kasus PT Sara Lee Indonesia

PT Sara Lee Indonesia, perusahaan besar yang bergerak di consumer product, diguncang masalah dengan karyawanya. Sekitar 200 buruh bagian pabrik roti yang tergabung dalam Gabungan Serikat Pekerja PT Sara Lee Indonesia, menggelar aksi mogok kerja di halaman pabrik, Jalan Raya Bogor Km 27 Jakarta Timur, Rabu (19/11/10).

Aksi mogok kerja ini, ternyata tidak hanya di Jakarta namun serentak di seluruh distributor Sara Lee se-Indonesia. Bahkan, buruh yang ada di daerah mengirim ‘utusan’ ke Jakarta untuk memperkuat tuntutannya. Utusan itu bukan orang, namun berupa spanduk dari Sara Lee yang dikirim dari beberapa daerah.

Dalam aksinya di depan pabrik, para buruh yang mayoritas perempuan ini membentangkan spanduk berisikan tuntutan kesejahteraan kepada manajemen perusahaan yang berbasis di Chicago Sara Lee Corporation dan beroperasi di 58 negara, pasar merek produk di hampir 200 negara serta memiliki 137.000 karyawan di seluruh dunia.
Dengan mengenakan kaos putih dan ikat merah di kepalanya. Buruh merentangkan belasan spanduk, di antaranya bertuliskan: “Kami bukan sapi perahan, usir kapitalis”, “Rp 16 triliun, Bagian kami mana?”, “Jangan lupa karyawan bagian dari aset perusahaan juga.” “Kami Minta 7 Paket”, “Perusahaan Sara Lee Besar Kok Ngasih Kesejahteraan Kecil” juga tuntutan lain tentang kesejahteraan dan gaji yang rendah.

Spanduk juga terpasang di pagar pabrik Sara Lee, juga ada sehelai kain berisi tanda tangan para pekerja dan 12 poster yang mewakili suara masing-masing tim dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Banyuwangi, Medan, Makassar, Denpasar, Jember, Surabaya, Madiun, Kediri, Gorontalo, Samarinda, Lombok dan Aceh.
Poster dari Surabaya GT tertera beberapa kalimat yang berbunyi: “Kami tidak akan berhenti mogok, sebelum kalian penuhi tuntutan buruh, penjahat aja tahu balas budi, kalian?” Juga poster dari Tim Banyuwangi menyuarakan: “Kedatangan kami bukan untuk berdebat, kami datang untuk meminta hak kami, jangan bersembunyi di belakang UU, dan jangan ambil jatah kami, ayo bicaralah untuk Indonesia.”

“Kami terpaksa mogok karena jalan berunding sudah buntu dari pertemuan tripartit antara manajemen perusahaan dengan serikat pekerja. Banyak tuntutan yang kami ajukan mulai kesejahteraan, peningkatan jumlah pesangon dan kompensasi dari manajemen,” ungkap seorang buruh wanita yang enggan disebut namanya.
Buruh takut menyebut nama, sebab manajemen perusahaan akan terus melakukan intimidasi yang menyakitkan. “Ini aksi dalam jumlah yang kecil, dan menggerakan lebih besar dan sering melancarkan aksi, jika tuntutan kami tak dikabulkan,” sambungnya.
Perwakilan manajemen sempat mengimbau peserta aksi mogok untuk kembali bekerja melalui pengeras suara, namun ditolak oleh pekerja. Hingga kini aksi buruh terus bertambah sebab karyawan dari distributor Jakarta, Bogor, Tanggeran, Depok dan Bekasi satu persatu memperkuat aksinya itu.

Buruh lainnya mengatakan kasus ini bermula dari penjualan saham Sara Lee dijual kepada perusahaan besar. Ternyata, perusahaan baru itu Setelah enggan menerima karyawan lain, sehingga nasib karyawan menjadi terkatung-katung. Bahkan, memutus hubungan kerja seenaknya saja. Buruh pun aktif demo.
Sara Lee merasa malu dengan aksi yang mencoreng perusahaan raksasa inim sehingga siap melakukan perundingan tripartit. Sayangnya, hingga kini belum ada kesepakatan karena manajemen perusahaan memberikan nilai pesangon yang sangat rendah, tak sesuai pengabdian karyawan.


Penyelesaian :
Manajemen PT. Saralee berunding terlebih dahulu dengan para buruh agar menemui suatu titik kesepakatan. Jika PT. Saralee tidak memperoleh laba yang ia targetkan, seharusnya ia dapat mengambil kebijaksanaan yang tidak membuat salah satu pihak rugi akan hal ini. Perundingan secara kekeluargaan adalah satu-satunya solusi yang dapat meredam demo. Jika demo terus terjadi, pihak Saralee malah akan mengalami kerugian yang lebih besar lagi, karena jika kegiatan operasional tidak berjalan seperti biasa, laba pun tidak akan didapatkan oleh PT.Saralee.
1.                  Solusi persoalan mikro perburuhan bisa diatasi dengan memperbaiki hubungan kontrak kerja antara pengusaha dengan pekerja. Transaksi kontrak tersebut sah menurut, jika memenuhi persyaratan dan ketentuan yang jelas mengenai :
a.       Bentuk dan jenis pekerjaan
b.      Masa kerja
c.       Upah kerja
d.      Tenaga yang dicurahkansaat bekerja
Jika ke empat masalah diatas sudah jelas dan disepakati maka kedua belah pihak terikat dan harus memenuhi apa yang tercantum dalam kesepakatan tersebut.
Sedangkan aspek makro perburuan, prinsipnya setiap orang berhak mendapatkan kesejahteraan. Hal ini bisa dilakukan dengan 2 cara :
a.       Pemenuhan kebutuhan sandang , pangan dan papan , ditangguhkan kepada setiap individu masyarakat (buruh)
b.      Terkait kebutuhan biaya pendidikan, layanan kesehatan dan keamanan menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakannya bagi setiap warga negara. Selain itu negara juga memiliki tanggungjawab menyediakan berbagai fasilitas yang memudahkan setiap orang untuk bekerja.

Kasus Ambalat

Menyikapi kasus Ambalat, yang perlu kita lakukan dengan segera adalah manuver-manuver politik oleh para diplomat kita dengan penuh percaya diri, keluwesan, dan keberanian. Apa yang dilakukan oleh TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara pada saat sekarang sudah tepat dan harus terus ditingkatkan sebagai back up terhadap usaha-usaha diplomasi. Semua manuver atau "show of force" tersebutkita lakukan dalam rangka pertahanan negara, menjaga integritas dan kedaulatan negara dan aneksasi oleh negara asing, bukan untuk melakukan penyerangan karenakita bukan negara agresor. "Show of force" tersebut penting sekali sebagai tekanan psikologis kepada pihak Malaysia agar dapat menyelesaikan kasus tersebut melalui jalan perundingan dengan cepat, dan tidak berdasarkan ambisi dan keserakahan karena merasa sudah lebih kuat.
Belajar dari kasus Sipadan dan Ligitan, karena kurang sabar melakukan usaha-usaha penyelesaian secara politis, melalui jalan diplomasi kasus itu berakhir dengan hasilyang sangat mengecewakan. Kalau saja kita tidak terburu-buru membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional, dan kita lebih intensif melakukan perundingan-perundingan didukung oleh "show of force" TNI Angkatan Laut dengan patroli laut secara reguler dan singgah di kedua pulau tersbeut, atau menempatkan petugas administratifkita di sana, tentu hasilnya akan lain. Apalagi bila disertai dengan alasan-alasan politis lainnya (semangat ASEAN, keamanan regional, dan sebagainya) maka kedua pulau tersebut belum tentu menjadi milikMalaysia, paling tidak satu pulau akan tetap milik kita.
Dalam kasus Ambalat pun kita harus hati-hati menyelesaikan masalah ini. Penyelesaiannya harus ditinjau dari berbagai aspek, khususnya hukum laut internasional sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UN Convention on the Law of the Sea, 1982) dan perjanjian bilateral antara kedua pihak. Bila menyelesaikan kasus ini langsung dengan jalan kekerasan (perang), dampaknyaakan berat bagi Indonesia baik dari segi politik internasional maupun dari segi beban dalam negeri, khususnya dalam bidang perekonomian negara. Penyelesaian melalui perundingan yang diakhiri dengan persetujuan secara tertulis, baik secara langsung atau dengan mediasi, akan memiliki kekuatan hukum secara lebih pasti
Reaksi keras dari pemerintah dan masyarakat bisa dipahami karena belum lagi sembuh luka bangsa Indonesia dengan terlepasnya dua pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, kini Malaysia mencoba ‘merebut’ wilayah lain yang diyakini sebagai wilayah Indonesia. Meskipun secara historis kedua pulau tersebut juga bagian dari Kesultanan Bulungan, toh akhirnya International Court of Justice (ICJ) memenangkan Malaysia. Keputusan ini, salah satunya, karena Pemerintah Indonesia terbukti gagal memberi perhatian kepada pengelolaan lingkungan kedua pulau tersebut. Akankah si kaya minyak Ambalat bernasib sama dengan kedua kakaknya, Sipadan dan Ligitan? Nampaknya PemerintahIndonesia perlu berjuang ekstra keras dan luar biasa hati-hati dalam menghadapi persoalan ini.
Untuk menyelesaikan persoalan klaim yang tumpang tindih ini, harus dilihat kembali rangkaian proses negosiasi antara kedua negara berkaitan dengan penyelesaian perbatasan di Pulau Kalimantanyang sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1974 (menurut Departeman Luar Negeri). Diketahui secara luas bahwa Perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, di mana Ambalat berada, memang belum terselesaikan secara tuntas. Ketidaktuntasan ini sesungguhnya sudah berbuah kekalahan ketika Sipadan dan Ligitan dipersoalkan dan akhirnya dimenangkan olehMalaysia. Jika memang belum pernah dicapai kesepakatan yang secara eksplisit berkaitan dengan Ambalat maka perlu dirujuk kembali Konvensi Batas Negara tahun 1891 yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggris sebagai penguasa di daerah tersebut di masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu saja menjadisalah satu acuan utama dalam penentuan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti apakah Konvensi tersebut secara eksplisit memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Hal ini sama halnya dengan penggunaan Traktat 1904 dalam penegasan perbatasan RI dengan Timor Leste.

A. Pengakuan Peta Laut
Bahwa Malaysia mengklaim Ambalat menggunakan peta (laut) yang diproduksi tahun 1979. Menutur Prescott (2004), peta tersebut memuat Batas Continental Shelf di mana klaim tersebut secara kesuluruhan melewati median line. Deviasi maksimum pada dua sekor sekitar 5 mil laut. Nampaknya dalam membuat klaim dasar laut iniMalaysia telah mengabaikan beberapa titik garis pangkal Indonesia yang sudah sah. Di luar pandangan tersebut di atas, perlu ditinjau secara detail bagaimana sesungguhnya sebuat peta laut bisa diakui dan sah untuk dijadikan dasar dalam mengklaim suatu wilayah. Tentang hal ini, Clive Schofield, mantan direktur International Boundary Research Unit (IBRU) berpendapat bahwa “peta laut tertentu harus dilaporkan dan diserahkan ke PBB, misalnya peta lautyang memuat jenis garis pangkal dan batas laut. Namun begitu suatu Negara yang megeluarkan peta laut tentu saja tidak bisa memaksa Negara lain kecuali memang disetujui.” Intinya, penggunaan peta laut tahun 1979 olehMalaysia harus didasarkan pada kaidah ilmiah dan hukum yang bisa diterima. Jika peta laut ini hanya memenuhi kepentingan dan keyakijan sepihak saja tanpa memperhatikan kedaulatan Negara tetangga, jelas hal ini tidak bisa dibenarkan.

B. Konfensi international
Sayang sekali, sebagai salah satu sumber hukum yang bisa diacu, Konvensi 1891, nampaknya tidak akan membantu banyak dalam penyelesaian kasus ini. Seperti halnya Sipadan dan Ligitan, Konvensi ini kemungkinan besar tidak akan mengatur secara tegas kepemilikan Ambalat. Hal ini terjadi karena Konvensi 1891 hanya menyebutkan bahwa Inggris dan Belanda sepakat mengakui garis batas yang berlokasi di garis lintang 4° 10’ ke arah timur memotong Pulau Sebatik tanpa lebih rinci menyebutkan kelanjutannya. Tentu saja ini meragukan karena Ambalat, seperti juga Sipadan dan Ligitan berada di sebelah timur titik akhir garis yang dimaksud. Jika garis tersebut, sederhananya, diperpanjang lurus ke timur, memang Ambalat, termasuk juga Sipadan dan Ligitan akan berada di pihak Indonesia. Namun demikian, menarik garis batas dengan cara ini, tanpa dasar hukum, tentu saja tidak bisa diterima begitu saja.
Melihat kondisi di atas, diplomasi bilateral memang nampaknya jalan yang paling mungkin. Meskipun mengajukan kasus ini ke badan internasional seperti ICJ, adalah juga alternatif yang baik, langkah ini tidak dikomendasikan. Mengacu pada gagasan Prescott, ada tiga hal yang melandasi pandangan ini.
Pertama, kasus-kasus semacam ini biasanya berlangsung lama (bisa 4-5 tahun). Artinya, ini akan menyita biaya yang sangat besar, sementara negosiasi antarnegara mungkin akan lebih produktif.
Kedua, pengadilan kadang-kadang memberikan hasil yang mengejutkan. Keputusan the Gulf of Fonseca adalah contoh yang nyata.
Ketiga, kadang-kadang argumen pengadialan dalam membuat keputusan terkesan kabur sehingga sulit dimengerti.

C. Penyelesaian Kasus Ambalat Melalui Elemen Negosiasi
Ada beberapa pelajaran penting yang semestinya diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi persoalan ini. Kejadian ini nampaknya semakin mempertegas pentingnya penetapan batas Negara, dalam hal ini batas laut, tidak saja dengan Malaysia tetapi dengan seluruh Negara tetangga. Saat ini tercatat bahwa Indonesia memiliki batas laut yang belum tuntas dengan Malaysia, Filipina, Palau, India, Thailand, Timor Timur, Sigapura, Papua New Guinea, Australia, dan Vietnam. Bisa dipahami bahwa Indonesia saat ini menghadapi banyak persoalan berat, termasuk bencana alam yang menyita perhatian besar. Saat inilah kemampuan pemerintah benar-benar diuji untuk dapat tetap memberi perhatian kepada persoalan penting seperti ini di tengah goncangan bencana.
Hal penting lain yang mendesak adalah melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di seluruh wilayah Indonesia termasuk melakukan pemberian nama (tiponim). Sesungguhnya hal ini sudah menjadi program pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan sejak cukup lama, namun kiranya perlu diberikan energi yang lebih besar sehingga bisa dituntaskan secepatnya. Jika ini tidak dilakukan, Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau akan kehilangan satu per satu pulaunya karena diklaim oleh bangsa lain tanpa bisa berbuat banyak.
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa dasar sejarah saja tidak bisa dijadikan pegangan dalam menelusuri kepemilikan sebuah wilayah. Lepasnya Sipadan dan Ligitan adalah salah satu bukti nyata untuk hal ini. Diperlukan adanya bukti hukum yang menunjukkan bahwa Indonesia telah melakukan upaya sistematis untuk memelihara secara administrai daerah yang dipersoalkan. Hal ini, salah satunya, dilakukan dengan menarik pajak bagi penduduk setempat, dan mengeluarkan peraturan-peraturan lokal yang berkaitan dengan wilayah sengketa. Didirikannya resor-resor wisata oleh Malaysia di Sipadan dan Ligitan adalah salah satu kekuatan yang akhirnya mengantarkan Malaysia pada suatu kemenangan, disamping isu pengelolaan lingkungan.
Apapun cara yang ditempuh, kedua belah pihak wajib saling menghormati dengan menempuh cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik. Pemahaman yang baik dari segi ilmiah, teknis dan hukum yang baik oleh kedua pihak diharapkan akan mengurangi langkah-langkah provokatif yang tidak perlu. Pemahan seperti ini tentu saja tidak cukup bagi pemerintah saja, melainkan juga masyarakat luas untuk bisa memahami dan mendukung terwujudkannya penyelesaian yang adil dan terhormat
Banyak pihak di negeri ini mengkhawatirkan tragedi lepasnya Sipadan-Ligitan terulang kembali di Ambalat dan sengketa perbatasan lainnya. Sumber utama kekhawatiran ini adalah terulangnya kekalahan di meja perundingan, kalah dalam bernegosiasi. Kekuatan negosiasi terletak pada fokusnya, yaitu yang bertumpu pada pencapaian kesepakatan yang saling menguntungkan. Negosiasi membuka jalan baru yang membawa harapan baru pula bagi semua pihak yang terlibat dengan cara yang unik, yaitu dengan motivasi. Jadi kekuatan inti negosiator ulung adalah kemampuannya untuk memotivasi pihak lain atau yang diajak berunding untuk menerima tujuan negosiasi. Atau dengan kata lain, kekuatan negosiasi terletak pada kemampuan si negosiator untuk memunculkankekuatan persuasi atau faktor intellectual nonaggressiveness yang melekat dan menghindari crude power. Kenyataannya, tidak mudah untuk menciptakan suasana win-win yang menuju pada kesepakatan bersama. Berbagai faktor dapat mempengaruhi suasana negosiasi dan dapat menurunkan rasa percaya antar-pihak yang berunding. Apabila hal ini tidak diatasi, maka negosiasi yang sebenarnya merupakan sarana strategis dapat berbalik menjadi sarana destruktif yang akibatnya dapat berkepanjangan. Namun, menjadi negosiator yang baik memang tidak mudah.. Anak-anak adalah negosiator ulung karena mereka gigih (persistence), tidak mengenal kata 'tidak', tidak tahu malu, dan cerdik dalam memanfaatkan kelemahan mereka menjadi kekuatan. Seorang Jendral yang tegas dan displin, barangkali harus menyerah terhadap rengekan anaknya.
Dalam negosiasi, terdapat empat faktor yang mesti diperhatikan: pemanfaatan waktu, individualisme, pola komunikasi dan derajat kepentingan formalitas dan conformity bagi suatu pihak. Keempat faktor ini mempengaruhi pace dari proses negosiasi, mempengaruhi penerapan strategi negosiasi dan menciptakan kepekaan untuk membentuk hubungan yang harmonis, trust, dan keterkaitan emosi. Faktor-faktor ini juga membantu dalam mengidentifikasi pola pengambilan keputusan, dan memahami alur pikir pihak lawan runding. Unsur penting dalam negosiasi adalah power, informasi dan waktu. Power yang dimaksud tentu saja crude power, tetapi berbentuk kekuatan bersaing, kekuatan mengambil resiko, kekuatan komitmen, kekuatan keahlian, dan masih banyak lagi. Kelengkapan dan keakuratan informasi juga merupakan senjata yang ampuh dalam negosiasi. Jika kita tahu bahwa ‘lawan’ kita tidak mempunyai alternatif, kita dapat menaikkan bargaining position kita. Dan ‘waktu’ dapat dimanfaatkan untuk menaikkan posisi dalam negosiasi.
Dengan inisiatif kita, dapat diterapkan teknik-teknik negosiasi untuk ‘membawa’ situasi negosiasi masuk ke dalam skenario kita. Jika ternyata ‘lawan’ memiliki inisiatif serupa, pemahaman teknik negosiasi dapat menjadi bekal untuk menghadapinya. Biasanya dalam negosiasi yang menyangkut persoalan yang bernilai tinggi, dilakukan secara kelompok. Di sini manajemen pelaku negosiasi memegang peranan yang sangat penting, terutama memasang ‘orang’ dalam peran yang sesuai dengan skenario yang telah kita susun. Ketika Malaysia mengatakan bahwa masalah Ambalat cukup ditangani Menteri Luar Negeri, mirip sekali dengan manajemen pelaku negosiasi. Mirip dengan skenario “orang baik” –“orang jahat”. Menlu akan menjadi ‘orang jahat’ yang memiliki banyak permintaan dan tidak banyak kompromi, sementara Badawi akan menjadi “orang baik” yang tenang dan tidak meledak-ledak. Dalam negosiasi bisnis, skenarionya “orang baik “ akan selalu meluluskan pemintaan kecil-kecil, tetapi sekali mengajukan permintaan akan meminta yang ‘besar’ dan esensial, yang menyebabkan rasa rikuh untuk menolaknya
Hal-hal yang harus di perjuangkan oleh seorang negosiator dalam kasus ambalat, di antaranya:
Pertama, seperti sengketa perbatasan lain di Asia Tenggara, kasus Ambalat merupakan warisan masa penjajahan. Peta-peta yang ditinggalkan colonial masters tidak pernah jelas dalam penarikan batas wilayah, namun terpaksa digunakan tiap negara di Asia Tenggara setelah negara-negara itu mendapat kemerdekaan. Negara-negara di Asia Tenggara perlu menyadari, konflik-konflik itu bukan diinsiprasikan atau didorong semangat aggresi atau keingginan untuk memperbesar wilayah, tetapi lebih disebabkan oleh beban-beban sejarah penjajahan (the question of historical legacy).
Kedua, mengingat masa kolonial itu, hampir seluruh negara Asia Tenggara amat sensitif terhadap keutuhan dan kedaulatan wilayah. Sengketa wilayah yang berdampak kemungkinan pengurangan luas wilayah sering dipersepsikan sebagai signal adanya ancaman terhadap kedaulatan dan membangkitkan memori masa kolonial (the question of political sensitivity). Sensitivitas politik pada gilirannya mengakibatkan efektivitas instrumen hukum internasional menjadi amat terbatas guna menyelesaikan konflik maritim secara komprehensif di wilayah ini.
Ketiga, Dilihat dari kacamata hukum laut internasional posisi Malaysia maupun Indonesia terhadap blok Ambalat?
Dari sisi hukum, Malaysia adalah negara pantai biasa. Oleh karena itu dia hanya bisa memakai dua tipe, yaitu normal baseline dan straight baseline untuk semua wilayah laut. Kalau Indonesia kita sudah jelas bisa memakai garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline). Itu bisa kita tetapkan mana pulau-pulau terluar kita. Karang Unarang adalah sebenarnya baseline yang mau kita pakai sebagai pengganti base line kita di Sipadan Ligitan. Kalau dilihat ke PP 38/2002, Sipadan dan Ligitan masih masuk dalam garis pangkal. Itu sebelum putusan. Namun sebagai negara yang baik dan menerima putusan, sekarang PP itu sedang dirubah dan kita sedang mengukur-ukur kembali dan Karang Unarang menjadi pilihan base line kita. Karang Unarang sendiri berada dalam 12 mil laut dari (pulau) Sebatik yang bagian Indonesia. Jadi kita berhak. Kita berhak sampai 100 mil laut. Kalau ada karang kita masih bisa klaim bahwa itu titik terluar kita.
Karang Unarang sendiri bukan pulau, itu adalah elevasi pasang surut. Jadi kalau air laut pasang dia tidak terlihat, begitu pula sebaliknya. Namanya law tide elevation harus ada permanent structure, maka itu kita buat mercusuar sekarang ini. Sipadan Ligitan sendiri adalah pulau kecil yang jauh dari daratan utama Malaysia. Lagipula mereka kan bukan negara kepulauan, jadi mereka tidak bisa menuntut itu. Dari yurisprudensi hukum internasional, penetapan batas landas kontinen pulau-pulau kecil itu tidak ada.
Jadi posisi tawar untuk Indonesia jelas lebih besar, bargaining position Indonesia sendiri untuk kasus Ambalat ini sangat besar. Seperti yang diaktakan oleh Prof Hasyim Djalal, ia ingin tahu dasar
hukum apa yang dipakai oleh Malaysia dalam mengklaim blok Ambalat tersebut. Karena kalau anda lihat dan otak-atik UNCLOS, mereka tidak punya dasar hukum. Sipadan Ligitan sendiri bisa menjadi as an island, tapi kalau dalam perundingan batas landas kontinen itu tidak bisa dipaksakan. Dari segi hukum internasional posisi kita kuat.
Keempat, adanya proyeksi, harga energi (minyak dan gas) akan tinggi di masa depan karena kebutuhan yang kian besar, baik untuk industrialisasi maupun pertumbuhan penduduk dan tuntutan hidup masyarakat. Di sisi lain, ada dugaan, berdasarkan proyeksi geologi, sepertiga continental shelf dunia terletak di Asia Tenggara, karena itu mengandung potensi besar untuk eksploitasi energi di masa depan. Persoalan insentif ekonomi (the question of economic incentive) ini sedikit banyak mewarnai konflik-konflik batas kelautan di wilayah Asia Tenggara, seperti konflik di Laut China Selatan, termasuk Ambalat.
Kelima, belum adanya tradisi melembaga untuk menyelesaikan konflik-konflik batas kelautan di Asia Tenggara secara regional. Sejauh ini, praktik yang ada melalui mekanisme bilateral lalu mengajukannya ke Mahkamah Internasional seperti kasus Sipadan dan Ligitan. Persoalan mekanisme regional ini (the question of regional conflict resolution) sebenarnya telah berupaya untuk dilembagakan oleh ASEAN melaui gagasan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dan ASEAN Security Community (ASC), namun tampaknya hingga kini belum digunakan maksimal. Malaysia dan Indonesia sebaiknya merujuk kedua dokumen resmi itu yang menekankan resolusi konflik secara damai. Kedua negara sebaiknya juga mempertimbangkan implikasi politik regional jika tidak menggunakannya. Adalah suatu ironi besar jika kedua negara mengabaikan dokumen ini sebagai prinsip normatif untuk penyelesaian konflik karena negara-negara ASEAN sebenarnya telah mengikat negara-negara Asia Timur, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan, melalui penandatanganan TAC dan sepakat melembagakan dan mempromosikan ASC.
Keenam, adanya potensi untuk meningkatkan ketegangan dalam hubungan bilateral dengan tujuan mengaburkan skala prioritas agenda domestik. Tradisi ini bukan sesuatu yang baru, tetapi dipraktikkan beberapa pemerintahan di negara-negara Asia Tenggara di masa lalu untuk mengurangi aneka tekanan dari dinamika politik domestik. Kemungkinan untuk pendayagunaan ini disebut sebagai persoalan politik pengambinghitaman (the question of scapegoat politics) perlu dicermati dan diwaspadai terutama karena bujukan untuk melakukan kebijakan semacam itu biasanya lebih kuat muncul dari pemerintahan baru. sebaiknya tidak terbujuk untuk melakukan hal ini.

KESIMPULAN
SENGKETA batas wilayah dan pemilikan Ambalat mendapat perhatian besar beberapa hari terakhir ini. Jika tidak segera ditangani, hubungan bilateral Indonesia-Malaysia yang mengandung banyak aspek (tidak sekadar berdimensi politik-keamanan) akan dapat memburuk. Malaysia mengklaim Ambalat menggunakan peta (laut) yang diproduksi tahun 1979. Menutur Prescott (2004), peta tersebut memuat Batas Continental Shelf di mana klaim tersebut secara kesuluruhan melewati median line. Deviasi maksimum pada dua sekor sekitar 5 mil laut. Nampaknya dalam membuat klaim dasar laut ini Malaysia telah mengabaikan beberapa titik garis pangkal Indonesia yang sudah sah. Di luar pandangan tersebut di atas, perlu ditinjau secara detail bagaimana sesungguhnya sebuat peta laut bisa diakui dan sah untuk dijadikan dasar dalam mengklaim suatu wilayah.
Untuk menyelesaikan persoalan klaim yang tumpang tindih ini, harus dilihat kembali rangkaian proses negosiasi antara kedua negara berkaitan dengan penyelesaian perbatasan di Pulau Kalimantan yang sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1974 (menurut Departeman Luar Negeri). Diketahui secara luas bahwa Perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, di mana Ambalat berada, memang belum terselesaikan secara tuntas. Ketidaktuntasan ini sesungguhnya sudah berbuah kekalahan ketika Sipadan dan Ligitan dipersoalkan dan akhirnya dimenangkan oleh Malaysia. Jika memang belum pernah dicapai kesepakatan yang secara eksplisit berkaitan dengan Ambalat maka perlu dirujuk kembali Konvensi Batas Negara tahun 1891 yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggris sebagai penguasa di daerah tersebut di masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu saja menjadi salah satu acuan utama dalam penentuan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti apakah Konvensi tersebut secara eksplisit memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Cara terbaik adalah jika para pembuat kebijakan, baik di Jakarta dan Kuala Lumpur maupun berbagai kelompok masyarakat di kedua negara, bersedia menggunakan kerangka pemikiran holistik untuk mengelola sengketa itu.
Ada beberapa pelajaran penting yang semestinya diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi persoalan ini. Kejadian ini nampaknya semakin mempertegas pentingnya penetapan batas Negara, dalam hal ini batas laut, tidak saja dengan Malaysia tetapi dengan seluruh Negara tetangga. Saat ini tercatat bahwa Indonesia memiliki batas laut yang belum tuntas dengan Malaysia, Filipina, Palau, India, Thailand, Timor Timur, Sigapura, Papua New Guinea, Australia, dan Vietnam. Bisa dipahami bahwa Indonesia saat ini menghadapi banyak persoalan berat, termasuk bencana alam yang menyita perhatian besar. Saat inilah kemampuan pemerintah benar-benar diuji untuk dapat tetap memberi perhatian kepada persoalan penting seperti ini di tengah goncangan bencana.

Hal penting lain yang mendesak adalah melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di seluruh wilayah Indonesia termasuk melakukan pemberian nama (tiponim). Sesungguhnya hal ini sudah menjadi program pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan sejak cukup lama, namun kiranya perlu diberikan energi yang lebih besar sehingga bisa dituntaskan secepatnya. Jika ini tidak dilakukan, Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau akan kehilangan satu per satu pulaunya karena diklaim oleh bangsa lain tanpa bisa berbuat banyak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar