Kasus PT Sara Lee Indonesia
PT Sara Lee Indonesia, perusahaan besar yang bergerak di
consumer product, diguncang masalah dengan karyawanya. Sekitar 200 buruh bagian
pabrik roti yang tergabung dalam Gabungan Serikat Pekerja PT Sara Lee
Indonesia, menggelar aksi mogok kerja di halaman pabrik, Jalan Raya Bogor Km 27
Jakarta Timur, Rabu (19/11/10).
Aksi mogok kerja ini, ternyata tidak hanya di Jakarta
namun serentak di seluruh distributor Sara Lee se-Indonesia. Bahkan, buruh yang
ada di daerah mengirim ‘utusan’ ke Jakarta untuk memperkuat tuntutannya. Utusan
itu bukan orang, namun berupa spanduk dari Sara Lee yang dikirim dari beberapa
daerah.
Dalam aksinya di depan pabrik, para buruh yang mayoritas
perempuan ini membentangkan spanduk berisikan tuntutan kesejahteraan kepada
manajemen perusahaan yang berbasis di Chicago Sara Lee Corporation dan beroperasi
di 58 negara, pasar merek produk di hampir 200 negara serta memiliki 137.000
karyawan di seluruh dunia.
Dengan mengenakan kaos putih dan ikat merah di kepalanya.
Buruh merentangkan belasan spanduk, di antaranya bertuliskan: “Kami bukan sapi
perahan, usir kapitalis”, “Rp 16 triliun, Bagian kami mana?”, “Jangan lupa
karyawan bagian dari aset perusahaan juga.” “Kami Minta 7 Paket”, “Perusahaan
Sara Lee Besar Kok Ngasih Kesejahteraan Kecil” juga tuntutan lain tentang
kesejahteraan dan gaji yang rendah.
Spanduk juga terpasang di pagar pabrik Sara Lee, juga ada
sehelai kain berisi tanda tangan para pekerja dan 12 poster yang mewakili suara
masing-masing tim dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Banyuwangi, Medan,
Makassar, Denpasar, Jember, Surabaya, Madiun, Kediri, Gorontalo, Samarinda,
Lombok dan Aceh.
Poster dari Surabaya GT tertera beberapa kalimat yang
berbunyi: “Kami tidak akan berhenti mogok, sebelum kalian penuhi tuntutan
buruh, penjahat aja tahu balas budi, kalian?” Juga poster dari Tim Banyuwangi
menyuarakan: “Kedatangan kami bukan untuk berdebat, kami datang untuk meminta
hak kami, jangan bersembunyi di belakang UU, dan jangan ambil jatah kami, ayo
bicaralah untuk Indonesia.”
“Kami terpaksa mogok karena jalan berunding sudah buntu
dari pertemuan tripartit antara manajemen perusahaan dengan serikat pekerja.
Banyak tuntutan yang kami ajukan mulai kesejahteraan, peningkatan jumlah
pesangon dan kompensasi dari manajemen,” ungkap seorang buruh wanita yang
enggan disebut namanya.
Buruh takut menyebut nama, sebab manajemen perusahaan
akan terus melakukan intimidasi yang menyakitkan. “Ini aksi dalam jumlah yang
kecil, dan menggerakan lebih besar dan sering melancarkan aksi, jika tuntutan
kami tak dikabulkan,” sambungnya.
Perwakilan manajemen sempat mengimbau peserta aksi mogok
untuk kembali bekerja melalui pengeras suara, namun ditolak oleh pekerja.
Hingga kini aksi buruh terus bertambah sebab karyawan dari distributor Jakarta,
Bogor, Tanggeran, Depok dan Bekasi satu persatu memperkuat aksinya itu.
Buruh lainnya mengatakan kasus ini bermula dari penjualan
saham Sara Lee dijual kepada perusahaan besar. Ternyata, perusahaan baru itu
Setelah enggan menerima karyawan lain, sehingga nasib karyawan menjadi
terkatung-katung. Bahkan, memutus hubungan kerja seenaknya saja. Buruh pun
aktif demo.
Sara Lee merasa malu dengan aksi yang mencoreng
perusahaan raksasa inim sehingga siap melakukan perundingan tripartit.
Sayangnya, hingga kini belum ada kesepakatan karena manajemen perusahaan
memberikan nilai pesangon yang sangat rendah, tak sesuai pengabdian karyawan.
Penyelesaian :
Manajemen PT. Saralee berunding terlebih dahulu dengan para buruh agar menemui suatu titik kesepakatan. Jika PT. Saralee tidak memperoleh laba yang ia targetkan, seharusnya ia dapat mengambil kebijaksanaan yang tidak membuat salah satu pihak rugi akan hal ini. Perundingan secara kekeluargaan adalah satu-satunya solusi yang dapat meredam demo. Jika demo terus terjadi, pihak Saralee malah akan mengalami kerugian yang lebih besar lagi, karena jika kegiatan operasional tidak berjalan seperti biasa, laba pun tidak akan didapatkan oleh PT.Saralee.
1.
Solusi persoalan mikro perburuhan bisa
diatasi dengan memperbaiki hubungan kontrak kerja antara pengusaha dengan
pekerja. Transaksi kontrak tersebut sah menurut, jika memenuhi persyaratan dan
ketentuan yang jelas mengenai :
a. Bentuk
dan jenis pekerjaan
b. Masa
kerja
c. Upah
kerja
d. Tenaga
yang dicurahkansaat bekerja
Jika ke empat masalah diatas sudah jelas dan disepakati
maka kedua belah pihak terikat dan harus memenuhi apa yang tercantum dalam
kesepakatan tersebut.
Sedangkan aspek makro
perburuan, prinsipnya setiap orang berhak mendapatkan kesejahteraan. Hal ini
bisa dilakukan dengan 2 cara :
a. Pemenuhan
kebutuhan sandang , pangan dan papan , ditangguhkan kepada setiap individu
masyarakat (buruh)
b. Terkait
kebutuhan biaya pendidikan, layanan kesehatan dan keamanan menjadi tanggung
jawab negara untuk menyediakannya bagi setiap warga negara. Selain itu negara
juga memiliki tanggungjawab menyediakan berbagai fasilitas yang memudahkan
setiap orang untuk bekerja.
Kasus
Ambalat
Menyikapi kasus
Ambalat, yang perlu kita lakukan dengan segera adalah manuver-manuver politik
oleh para diplomat kita dengan penuh percaya diri, keluwesan, dan keberanian.
Apa yang dilakukan oleh TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara pada saat
sekarang sudah tepat dan harus terus ditingkatkan sebagai back up terhadap
usaha-usaha diplomasi. Semua manuver atau "show of force"
tersebutkita lakukan dalam rangka pertahanan negara, menjaga integritas dan
kedaulatan negara dan aneksasi oleh negara asing, bukan untuk melakukan
penyerangan karenakita bukan negara agresor. "Show of force" tersebut
penting sekali sebagai tekanan psikologis kepada pihak Malaysia agar dapat
menyelesaikan kasus tersebut melalui jalan perundingan dengan cepat, dan tidak
berdasarkan ambisi dan keserakahan karena merasa sudah lebih kuat.
Belajar dari kasus
Sipadan dan Ligitan, karena kurang sabar melakukan usaha-usaha penyelesaian
secara politis, melalui jalan diplomasi kasus itu berakhir dengan hasilyang
sangat mengecewakan. Kalau saja kita tidak terburu-buru membawa kasus tersebut
ke Mahkamah Internasional, dan kita lebih intensif melakukan
perundingan-perundingan didukung oleh "show of force" TNI Angkatan
Laut dengan patroli laut secara reguler dan singgah di kedua pulau tersbeut,
atau menempatkan petugas administratifkita di sana, tentu hasilnya akan lain.
Apalagi bila disertai dengan alasan-alasan politis lainnya (semangat ASEAN,
keamanan regional, dan sebagainya) maka kedua pulau tersebut belum tentu
menjadi milikMalaysia, paling tidak satu pulau akan tetap milik kita.
Dalam kasus Ambalat pun
kita harus hati-hati menyelesaikan masalah ini. Penyelesaiannya harus ditinjau
dari berbagai aspek, khususnya hukum laut internasional sesuai dengan Konvensi
PBB tentang Hukum Laut (UN Convention on the Law of the Sea, 1982) dan
perjanjian bilateral antara kedua pihak. Bila menyelesaikan kasus ini langsung
dengan jalan kekerasan (perang), dampaknyaakan berat bagi Indonesia baik dari
segi politik internasional maupun dari segi beban dalam negeri, khususnya dalam
bidang perekonomian negara. Penyelesaian melalui perundingan yang diakhiri
dengan persetujuan secara tertulis, baik secara langsung atau dengan mediasi,
akan memiliki kekuatan hukum secara lebih pasti
Reaksi keras dari
pemerintah dan masyarakat bisa dipahami karena belum lagi sembuh luka bangsa
Indonesia dengan terlepasnya dua pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia,
kini Malaysia mencoba ‘merebut’ wilayah lain yang diyakini sebagai wilayah
Indonesia. Meskipun secara historis kedua pulau tersebut juga bagian dari
Kesultanan Bulungan, toh akhirnya International Court of Justice (ICJ)
memenangkan Malaysia. Keputusan ini, salah satunya, karena Pemerintah Indonesia
terbukti gagal memberi perhatian kepada pengelolaan lingkungan kedua pulau tersebut.
Akankah si kaya minyak Ambalat bernasib sama dengan kedua kakaknya, Sipadan dan
Ligitan? Nampaknya PemerintahIndonesia perlu berjuang ekstra keras dan luar
biasa hati-hati dalam menghadapi persoalan ini.
Untuk menyelesaikan
persoalan klaim yang tumpang tindih ini, harus dilihat kembali rangkaian proses
negosiasi antara kedua negara berkaitan dengan penyelesaian perbatasan di Pulau
Kalimantanyang sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1974 (menurut Departeman
Luar Negeri). Diketahui secara luas bahwa Perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut
Sulawesi, di mana Ambalat berada, memang belum terselesaikan secara tuntas.
Ketidaktuntasan ini sesungguhnya sudah berbuah kekalahan ketika Sipadan dan
Ligitan dipersoalkan dan akhirnya dimenangkan olehMalaysia. Jika memang belum
pernah dicapai kesepakatan yang secara eksplisit berkaitan dengan Ambalat maka
perlu dirujuk kembali Konvensi Batas Negara tahun 1891 yang ditandatangani oleh
Belanda dan Inggris sebagai penguasa di daerah tersebut di masa kolinialisasi.
Konvensi ini tentu saja menjadisalah satu acuan utama dalam penentuan
perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti apakah
Konvensi tersebut secara eksplisit memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Hal ini
sama halnya dengan penggunaan Traktat 1904 dalam penegasan perbatasan RI dengan
Timor Leste.
A.
Pengakuan Peta Laut
Bahwa Malaysia
mengklaim Ambalat menggunakan peta (laut) yang diproduksi tahun 1979. Menutur
Prescott (2004), peta tersebut memuat Batas Continental Shelf di mana klaim
tersebut secara kesuluruhan melewati median line. Deviasi maksimum pada dua
sekor sekitar 5 mil laut. Nampaknya dalam membuat klaim dasar laut iniMalaysia
telah mengabaikan beberapa titik garis pangkal Indonesia yang sudah sah. Di
luar pandangan tersebut di atas, perlu ditinjau secara detail bagaimana
sesungguhnya sebuat peta laut bisa diakui dan sah untuk dijadikan dasar dalam
mengklaim suatu wilayah. Tentang hal ini, Clive Schofield, mantan direktur
International Boundary Research Unit (IBRU) berpendapat bahwa “peta laut
tertentu harus dilaporkan dan diserahkan ke PBB, misalnya peta lautyang memuat
jenis garis pangkal dan batas laut. Namun begitu suatu Negara yang megeluarkan
peta laut tentu saja tidak bisa memaksa Negara lain kecuali memang disetujui.”
Intinya, penggunaan peta laut tahun 1979 olehMalaysia harus didasarkan pada
kaidah ilmiah dan hukum yang bisa diterima. Jika peta laut ini hanya memenuhi
kepentingan dan keyakijan sepihak saja tanpa memperhatikan kedaulatan Negara
tetangga, jelas hal ini tidak bisa dibenarkan.
B.
Konfensi international
Sayang sekali, sebagai
salah satu sumber hukum yang bisa diacu, Konvensi 1891, nampaknya tidak akan
membantu banyak dalam penyelesaian kasus ini. Seperti halnya Sipadan dan
Ligitan, Konvensi ini kemungkinan besar tidak akan mengatur secara tegas
kepemilikan Ambalat. Hal ini terjadi karena Konvensi 1891 hanya menyebutkan
bahwa Inggris dan Belanda sepakat mengakui garis batas yang berlokasi di garis
lintang 4° 10’ ke arah timur memotong Pulau Sebatik tanpa lebih rinci menyebutkan
kelanjutannya. Tentu saja ini meragukan karena Ambalat, seperti juga Sipadan
dan Ligitan berada di sebelah timur titik akhir garis yang dimaksud. Jika garis
tersebut, sederhananya, diperpanjang lurus ke timur, memang Ambalat, termasuk
juga Sipadan dan Ligitan akan berada di pihak Indonesia. Namun demikian,
menarik garis batas dengan cara ini, tanpa dasar hukum, tentu saja tidak bisa
diterima begitu saja.
Melihat kondisi di
atas, diplomasi bilateral memang nampaknya jalan yang paling mungkin. Meskipun
mengajukan kasus ini ke badan internasional seperti ICJ, adalah juga alternatif
yang baik, langkah ini tidak dikomendasikan. Mengacu pada gagasan Prescott, ada
tiga hal yang melandasi pandangan ini.
Pertama, kasus-kasus
semacam ini biasanya berlangsung lama (bisa 4-5 tahun). Artinya, ini akan
menyita biaya yang sangat besar, sementara negosiasi antarnegara mungkin akan
lebih produktif.
Kedua, pengadilan
kadang-kadang memberikan hasil yang mengejutkan. Keputusan the Gulf of Fonseca
adalah contoh yang nyata.
Ketiga, kadang-kadang
argumen pengadialan dalam membuat keputusan terkesan kabur sehingga sulit
dimengerti.
C.
Penyelesaian Kasus Ambalat Melalui Elemen Negosiasi
Ada beberapa pelajaran
penting yang semestinya diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi
persoalan ini. Kejadian ini nampaknya semakin mempertegas pentingnya penetapan
batas Negara, dalam hal ini batas laut, tidak saja dengan Malaysia tetapi
dengan seluruh Negara tetangga. Saat ini tercatat bahwa Indonesia memiliki
batas laut yang belum tuntas dengan Malaysia, Filipina, Palau, India, Thailand,
Timor Timur, Sigapura, Papua New Guinea, Australia, dan Vietnam. Bisa dipahami
bahwa Indonesia saat ini menghadapi banyak persoalan berat, termasuk bencana
alam yang menyita perhatian besar. Saat inilah kemampuan pemerintah benar-benar
diuji untuk dapat tetap memberi perhatian kepada persoalan penting seperti ini
di tengah goncangan bencana.
Hal penting lain yang
mendesak adalah melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di seluruh wilayah
Indonesia termasuk melakukan pemberian nama (tiponim). Sesungguhnya hal ini
sudah menjadi program pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan
sejak cukup lama, namun kiranya perlu diberikan energi yang lebih besar
sehingga bisa dituntaskan secepatnya. Jika ini tidak dilakukan, Indonesia yang
terdiri dari ribuan pulau akan kehilangan satu per satu pulaunya karena diklaim
oleh bangsa lain tanpa bisa berbuat banyak.
Satu hal yang perlu
dicatat adalah bahwa dasar sejarah saja tidak bisa dijadikan pegangan dalam
menelusuri kepemilikan sebuah wilayah. Lepasnya Sipadan dan Ligitan adalah
salah satu bukti nyata untuk hal ini. Diperlukan adanya bukti hukum yang
menunjukkan bahwa Indonesia telah melakukan upaya sistematis untuk memelihara
secara administrai daerah yang dipersoalkan. Hal ini, salah satunya, dilakukan
dengan menarik pajak bagi penduduk setempat, dan mengeluarkan
peraturan-peraturan lokal yang berkaitan dengan wilayah sengketa. Didirikannya
resor-resor wisata oleh Malaysia di Sipadan dan Ligitan adalah salah satu
kekuatan yang akhirnya mengantarkan Malaysia pada suatu kemenangan, disamping
isu pengelolaan lingkungan.
Apapun cara yang
ditempuh, kedua belah pihak wajib saling menghormati dengan menempuh cara-cara
damai dalam menyelesaikan konflik. Pemahaman yang baik dari segi ilmiah, teknis
dan hukum yang baik oleh kedua pihak diharapkan akan mengurangi langkah-langkah
provokatif yang tidak perlu. Pemahan seperti ini tentu saja tidak cukup bagi
pemerintah saja, melainkan juga masyarakat luas untuk bisa memahami dan
mendukung terwujudkannya penyelesaian yang adil dan terhormat
Banyak pihak di negeri
ini mengkhawatirkan tragedi lepasnya Sipadan-Ligitan terulang kembali di
Ambalat dan sengketa perbatasan lainnya. Sumber utama kekhawatiran ini adalah
terulangnya kekalahan di meja perundingan, kalah dalam bernegosiasi. Kekuatan
negosiasi terletak pada fokusnya, yaitu yang bertumpu pada pencapaian
kesepakatan yang saling menguntungkan. Negosiasi membuka jalan baru yang
membawa harapan baru pula bagi semua pihak yang terlibat dengan cara yang unik,
yaitu dengan motivasi. Jadi kekuatan inti negosiator ulung adalah kemampuannya
untuk memotivasi pihak lain atau yang diajak berunding untuk menerima tujuan
negosiasi. Atau dengan kata lain, kekuatan negosiasi terletak pada kemampuan si
negosiator untuk memunculkankekuatan persuasi atau faktor intellectual
nonaggressiveness yang melekat dan menghindari crude power. Kenyataannya, tidak
mudah untuk menciptakan suasana win-win yang menuju pada kesepakatan bersama.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi suasana negosiasi dan dapat menurunkan rasa
percaya antar-pihak yang berunding. Apabila hal ini tidak diatasi, maka
negosiasi yang sebenarnya merupakan sarana strategis dapat berbalik menjadi
sarana destruktif yang akibatnya dapat berkepanjangan. Namun, menjadi
negosiator yang baik memang tidak mudah.. Anak-anak adalah negosiator ulung
karena mereka gigih (persistence), tidak mengenal kata 'tidak', tidak tahu
malu, dan cerdik dalam memanfaatkan kelemahan mereka menjadi kekuatan. Seorang
Jendral yang tegas dan displin, barangkali harus menyerah terhadap rengekan
anaknya.
Dalam negosiasi,
terdapat empat faktor yang mesti diperhatikan: pemanfaatan waktu,
individualisme, pola komunikasi dan derajat kepentingan formalitas dan
conformity bagi suatu pihak. Keempat faktor ini mempengaruhi pace dari proses
negosiasi, mempengaruhi penerapan strategi negosiasi dan menciptakan kepekaan
untuk membentuk hubungan yang harmonis, trust, dan keterkaitan emosi.
Faktor-faktor ini juga membantu dalam mengidentifikasi pola pengambilan
keputusan, dan memahami alur pikir pihak lawan runding. Unsur penting dalam
negosiasi adalah power, informasi dan waktu. Power yang dimaksud tentu saja
crude power, tetapi berbentuk kekuatan bersaing, kekuatan mengambil resiko,
kekuatan komitmen, kekuatan keahlian, dan masih banyak lagi. Kelengkapan dan
keakuratan informasi juga merupakan senjata yang ampuh dalam negosiasi. Jika
kita tahu bahwa ‘lawan’ kita tidak mempunyai alternatif, kita dapat menaikkan
bargaining position kita. Dan ‘waktu’ dapat dimanfaatkan untuk menaikkan posisi
dalam negosiasi.
Dengan inisiatif kita,
dapat diterapkan teknik-teknik negosiasi untuk ‘membawa’ situasi negosiasi
masuk ke dalam skenario kita. Jika ternyata ‘lawan’ memiliki inisiatif serupa,
pemahaman teknik negosiasi dapat menjadi bekal untuk menghadapinya. Biasanya
dalam negosiasi yang menyangkut persoalan yang bernilai tinggi, dilakukan
secara kelompok. Di sini manajemen pelaku negosiasi memegang peranan yang
sangat penting, terutama memasang ‘orang’ dalam peran yang sesuai dengan
skenario yang telah kita susun. Ketika Malaysia mengatakan bahwa masalah
Ambalat cukup ditangani Menteri Luar Negeri, mirip sekali dengan manajemen
pelaku negosiasi. Mirip dengan skenario “orang baik” –“orang jahat”. Menlu akan
menjadi ‘orang jahat’ yang memiliki banyak permintaan dan tidak banyak
kompromi, sementara Badawi akan menjadi “orang baik” yang tenang dan tidak
meledak-ledak. Dalam negosiasi bisnis, skenarionya “orang baik “ akan selalu
meluluskan pemintaan kecil-kecil, tetapi sekali mengajukan permintaan akan
meminta yang ‘besar’ dan esensial, yang menyebabkan rasa rikuh untuk menolaknya
Hal-hal yang harus di
perjuangkan oleh seorang negosiator dalam kasus ambalat, di antaranya:
Pertama, seperti
sengketa perbatasan lain di Asia Tenggara, kasus Ambalat merupakan warisan masa
penjajahan. Peta-peta yang ditinggalkan colonial masters tidak pernah jelas
dalam penarikan batas wilayah, namun terpaksa digunakan tiap negara di Asia
Tenggara setelah negara-negara itu mendapat kemerdekaan. Negara-negara di Asia
Tenggara perlu menyadari, konflik-konflik itu bukan diinsiprasikan atau
didorong semangat aggresi atau keingginan untuk memperbesar wilayah, tetapi
lebih disebabkan oleh beban-beban sejarah penjajahan (the question of
historical legacy).
Kedua, mengingat masa
kolonial itu, hampir seluruh negara Asia Tenggara amat sensitif terhadap
keutuhan dan kedaulatan wilayah. Sengketa wilayah yang berdampak kemungkinan
pengurangan luas wilayah sering dipersepsikan sebagai signal adanya ancaman
terhadap kedaulatan dan membangkitkan memori masa kolonial (the question of
political sensitivity). Sensitivitas politik pada gilirannya mengakibatkan
efektivitas instrumen hukum internasional menjadi amat terbatas guna
menyelesaikan konflik maritim secara komprehensif di wilayah ini.
Ketiga, Dilihat dari
kacamata hukum laut internasional posisi Malaysia maupun Indonesia terhadap
blok Ambalat?
Dari sisi hukum,
Malaysia adalah negara pantai biasa. Oleh karena itu dia hanya bisa memakai dua
tipe, yaitu normal baseline dan straight baseline untuk semua wilayah laut.
Kalau Indonesia kita sudah jelas bisa memakai garis pangkal kepulauan
(archipelagic baseline). Itu bisa kita tetapkan mana pulau-pulau terluar kita.
Karang Unarang adalah sebenarnya baseline yang mau kita pakai sebagai pengganti
base line kita di Sipadan Ligitan. Kalau dilihat ke PP 38/2002, Sipadan dan
Ligitan masih masuk dalam garis pangkal. Itu sebelum putusan. Namun sebagai
negara yang baik dan menerima putusan, sekarang PP itu sedang dirubah dan kita
sedang mengukur-ukur kembali dan Karang Unarang menjadi pilihan base line kita.
Karang Unarang sendiri berada dalam 12 mil laut dari (pulau) Sebatik yang
bagian Indonesia. Jadi kita berhak. Kita berhak sampai 100 mil laut. Kalau ada karang
kita masih bisa klaim bahwa itu titik terluar kita.
Karang Unarang sendiri
bukan pulau, itu adalah elevasi pasang surut. Jadi kalau air laut pasang dia
tidak terlihat, begitu pula sebaliknya. Namanya law tide elevation harus ada
permanent structure, maka itu kita buat mercusuar sekarang ini. Sipadan Ligitan
sendiri adalah pulau kecil yang jauh dari daratan utama Malaysia. Lagipula
mereka kan bukan negara kepulauan, jadi mereka tidak bisa menuntut itu. Dari
yurisprudensi hukum internasional, penetapan batas landas kontinen pulau-pulau
kecil itu tidak ada.
Jadi posisi tawar untuk
Indonesia jelas lebih besar, bargaining position Indonesia sendiri untuk kasus
Ambalat ini sangat besar. Seperti yang diaktakan oleh Prof Hasyim Djalal, ia
ingin tahu dasar
hukum apa yang dipakai
oleh Malaysia dalam mengklaim blok Ambalat tersebut. Karena kalau anda lihat
dan otak-atik UNCLOS, mereka tidak punya dasar hukum. Sipadan Ligitan sendiri
bisa menjadi as an island, tapi kalau dalam perundingan batas landas kontinen
itu tidak bisa dipaksakan. Dari segi hukum internasional posisi kita kuat.
Keempat, adanya
proyeksi, harga energi (minyak dan gas) akan tinggi di masa depan karena
kebutuhan yang kian besar, baik untuk industrialisasi maupun pertumbuhan
penduduk dan tuntutan hidup masyarakat. Di sisi lain, ada dugaan, berdasarkan
proyeksi geologi, sepertiga continental shelf dunia terletak di Asia Tenggara,
karena itu mengandung potensi besar untuk eksploitasi energi di masa depan.
Persoalan insentif ekonomi (the question of economic incentive) ini sedikit
banyak mewarnai konflik-konflik batas kelautan di wilayah Asia Tenggara,
seperti konflik di Laut China Selatan, termasuk Ambalat.
Kelima, belum adanya
tradisi melembaga untuk menyelesaikan konflik-konflik batas kelautan di Asia
Tenggara secara regional. Sejauh ini, praktik yang ada melalui mekanisme
bilateral lalu mengajukannya ke Mahkamah Internasional seperti kasus Sipadan
dan Ligitan. Persoalan mekanisme regional ini (the question of regional
conflict resolution) sebenarnya telah berupaya untuk dilembagakan oleh ASEAN
melaui gagasan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dan ASEAN Security
Community (ASC), namun tampaknya hingga kini belum digunakan maksimal. Malaysia
dan Indonesia sebaiknya merujuk kedua dokumen resmi itu yang menekankan
resolusi konflik secara damai. Kedua negara sebaiknya juga mempertimbangkan
implikasi politik regional jika tidak menggunakannya. Adalah suatu ironi besar
jika kedua negara mengabaikan dokumen ini sebagai prinsip normatif untuk
penyelesaian konflik karena negara-negara ASEAN sebenarnya telah mengikat
negara-negara Asia Timur, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan, melalui
penandatanganan TAC dan sepakat melembagakan dan mempromosikan ASC.
Keenam, adanya potensi
untuk meningkatkan ketegangan dalam hubungan bilateral dengan tujuan
mengaburkan skala prioritas agenda domestik. Tradisi ini bukan sesuatu yang
baru, tetapi dipraktikkan beberapa pemerintahan di negara-negara Asia Tenggara
di masa lalu untuk mengurangi aneka tekanan dari dinamika politik domestik.
Kemungkinan untuk pendayagunaan ini disebut sebagai persoalan politik
pengambinghitaman (the question of scapegoat politics) perlu dicermati dan
diwaspadai terutama karena bujukan untuk melakukan kebijakan semacam itu
biasanya lebih kuat muncul dari pemerintahan baru. sebaiknya tidak terbujuk
untuk melakukan hal ini.
KESIMPULAN
SENGKETA batas wilayah
dan pemilikan Ambalat mendapat perhatian besar beberapa hari terakhir ini. Jika
tidak segera ditangani, hubungan bilateral Indonesia-Malaysia yang mengandung
banyak aspek (tidak sekadar berdimensi politik-keamanan) akan dapat memburuk.
Malaysia mengklaim Ambalat menggunakan peta (laut) yang diproduksi tahun 1979.
Menutur Prescott (2004), peta tersebut memuat Batas Continental Shelf di mana
klaim tersebut secara kesuluruhan melewati median line. Deviasi maksimum pada
dua sekor sekitar 5 mil laut. Nampaknya dalam membuat klaim dasar laut ini
Malaysia telah mengabaikan beberapa titik garis pangkal Indonesia yang sudah
sah. Di luar pandangan tersebut di atas, perlu ditinjau secara detail bagaimana
sesungguhnya sebuat peta laut bisa diakui dan sah untuk dijadikan dasar dalam
mengklaim suatu wilayah.
Untuk menyelesaikan
persoalan klaim yang tumpang tindih ini, harus dilihat kembali rangkaian proses
negosiasi antara kedua negara berkaitan dengan penyelesaian perbatasan di Pulau
Kalimantan yang sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1974 (menurut Departeman
Luar Negeri). Diketahui secara luas bahwa Perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut
Sulawesi, di mana Ambalat berada, memang belum terselesaikan secara tuntas.
Ketidaktuntasan ini sesungguhnya sudah berbuah kekalahan ketika Sipadan dan
Ligitan dipersoalkan dan akhirnya dimenangkan oleh Malaysia. Jika memang belum
pernah dicapai kesepakatan yang secara eksplisit berkaitan dengan Ambalat maka
perlu dirujuk kembali Konvensi Batas Negara tahun 1891 yang ditandatangani oleh
Belanda dan Inggris sebagai penguasa di daerah tersebut di masa kolinialisasi.
Konvensi ini tentu saja menjadi salah satu acuan utama dalam penentuan
perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti apakah
Konvensi tersebut secara eksplisit memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Cara
terbaik adalah jika para pembuat kebijakan, baik di Jakarta dan Kuala Lumpur
maupun berbagai kelompok masyarakat di kedua negara, bersedia menggunakan
kerangka pemikiran holistik untuk mengelola sengketa itu.
Ada beberapa pelajaran
penting yang semestinya diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi
persoalan ini. Kejadian ini nampaknya semakin mempertegas pentingnya penetapan
batas Negara, dalam hal ini batas laut, tidak saja dengan Malaysia tetapi
dengan seluruh Negara tetangga. Saat ini tercatat bahwa Indonesia memiliki
batas laut yang belum tuntas dengan Malaysia, Filipina, Palau, India, Thailand,
Timor Timur, Sigapura, Papua New Guinea, Australia, dan Vietnam. Bisa dipahami
bahwa Indonesia saat ini menghadapi banyak persoalan berat, termasuk bencana
alam yang menyita perhatian besar. Saat inilah kemampuan pemerintah benar-benar
diuji untuk dapat tetap memberi perhatian kepada persoalan penting seperti ini
di tengah goncangan bencana.
Hal penting lain yang
mendesak adalah melakukan inventarisasi pulau-pulau kecil di seluruh wilayah
Indonesia termasuk melakukan pemberian nama (tiponim). Sesungguhnya hal ini
sudah menjadi program pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan
sejak cukup lama, namun kiranya perlu diberikan energi yang lebih besar
sehingga bisa dituntaskan secepatnya. Jika ini tidak dilakukan, Indonesia yang
terdiri dari ribuan pulau akan kehilangan satu per satu pulaunya karena diklaim
oleh bangsa lain tanpa bisa berbuat banyak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar