AUDIT FORENSIK
Audit Forensik terdiri dari
dua kata, yaitu audit dan forensik. Audit adalah tindakan untuk membandingkan
kesesuaian antara kondisi dan kriteria. Sementara forensik adalah segala hal
yang bisa diperdebatkan di muka hukum / pengadilan.
Menurut Association of
Certified Fraud Examiners (ACFE), forensic accounting / auditing merujuk
kepada fraud examination. Dengan kata lain keduanya merupakan hal
yang sama, yaitu:
“Forensic
accounting is the application of accounting, auditing, and investigative skills
to provide quantitative financial information about matters before the
courts.”
Menurut D. Larry Crumbley,
editor-in-chief dari Journal of Forensic Accounting (JFA) “Akuntansi forensik
adalah akuntansi yang akurat (cocok) untuk tujuan hukum. Artinya, akuntansi
yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau
dalam proses peninjauan judicial atau administratif”.
Dengan demikian, audit
forensik bisa didefinisikan sebagai tindakan menganalisa dan membandingkan
antara kondisi di lapangan dengan kriteria, untuk menghasilkan informasi atau
bukti kuantitatif yang bisa digunakan di muka pengadilan.
Karena sifat dasar dari audit
forensik yang berfungsi untuk memberikan bukti di muka pengadilan, maka fungsi
utama dari audit forensik adalah untuk melakukan audit investigasi terhadap
tindak kriminal dan untuk memberikan keterangan saksi ahli (litigation support)
di pengadilan.
Audit Forensik dapat bersifat
proaktif maupun reaktif. Proaktif artinya audit forensik digunakan untuk
mendeteksi kemungkinan-kemungkinan risiko terjadinya fraud atau kecurangan.
Sementara itu, reaktif artinya audit akan dilakukan ketika ada indikasi (bukti)
awal terjadinya fraud. Audit tersebut akan menghasilkan “red flag” atau sinyal
atas ketidakberesan. Dalam hal ini, audit forensik yang lebih mendalam dan
investigatif akan dilakukan.
Tugas
Akuntansi Forensik
Akuntan
forensik bertugas memberikan pendapat hukum dalam pengadilan (litigation).
Disamping itu, ada juga peran akuntan forensik dalam bidang hukum diluar
pengadilan (non itigation) misalnya dalam membantu merumuskan alternatif
penyelesaian perkara dalam sengketa, perumusan perhitungan ganti rugi dan upaya
menghitung dampak pemutusan / pelanggaran kontrak.
Akuntansi
forensik dibagi ke dalam dua bagian: jasa penyelidikan (investigative services)
dan jasa litigasi (litigation services). Jasa Penyelidikan mengarahkan
pemeriksa penipuan atau auditor penipuan, yang mana mereka menguasai
pengetahuan tentang akuntansi mendeteksi, mencegah, dan mengendalikan penipuan,
dan misinterpretasi. Jasa litigasi merepresentasikan kesaksian dari seorang
pemeriksa penipuan dan jasa-jasa akuntansi forensik yang ditawarkan untuk
memecahkan isu-isu valuasi, seperti yang dialami dalam kasus perceraian.
Sehingga, tim audit harus menjalani pelatihan dan diberitahu tentang pentingnya
prosedur akuntansi forensik di dalam praktek audit dan kebutuhan akan adanya
spesialis forensik untuk membantu memecahkan masalah.
Perbandingan
antara Audit Forensik dengan Audit Tradisional (Keuangan)
Audit Tradisional
|
Audit Forensik
|
|
Waktu
|
Berulang
|
Tidak berulang
|
Lingkup
|
Laporan Keuangan secara umum
|
Spesifik
|
Hasil
|
Opini
|
Membuktikan fraud (kecurangan)
|
Hubungan
|
Non-Adversarial
|
Adversarial (Perseteruan hukum)
|
Metodologi
|
Teknik Audit
|
Eksaminasi
|
Standar
|
Standar Audit
|
Standar Audit dan Hukum Positif
|
Praduga
|
Professional Scepticism
|
Bukti awal
|
Perbedaan yang paling teknis
antara Audit Forensik dan Audit Tradisional adalah pada masalah metodologi.
Dalam Audit Tradisional, mungkin dikenal ada beberapa teknik audit yang
digunakan. Teknik-teknik tersebut antara lain adalah prosedur analitis, analisa
dokumen, observasi fisik, konfirmasi, review, dan sebagainya. Namun, dalam
Audit Forensik, teknik yang digunakan sangatlah kompleks.
Teknik-teknik yang digunakan
dalam audit forensik sudah menjurus secara
spesifik untuk
menemukan adanya fraud. Teknik-teknik tersebut banyak yang bersifat mendeteksi
fraud secara lebih mendalam dan bahkan hingga ke level mencari tahu siapa
pelaku fraud. Oleh karena itu jangan heran bila teknik audit forensik mirip
teknik yang digunakan detektif untuk menemukan pelaku tindak kriminal.
Teknik-teknik yang digunakan antara lain adalah metode kekayaan bersih,
penelusuran jejak uang / aset, deteksi pencucian uang, analisa tanda tangan,
analisa kamera tersembunyi (surveillance), wawancara mendalam, digital
forensic, dan sebagainya.
Praktik Ilmu
Audit Forensik
Penilaian risiko fraud
Penilaian risiko terjadinya
fraud atau kecurangan adalah penggunaan ilmu audit forensik yang paling luas.
Dalam praktiknya, hal ini juga digunakan dalam perusahaan-perusahaan swasta
untuk menyusun sistem pengendalian intern yang memadai. Dengan dinilainya
risiko terjadinya fraud, maka perusahaan untuk selanjutnya bisa menyusun sistem
yang bisa menutup celah-celah yang memungkinkan terjadinya fraud tersebut.
Deteksi dan investigasi fraud
Dalam hal ini, audit forensik
digunakan untuk mendeteksi dan membuktikan adanya fraud dan mendeteksi
pelakunya. Dengan demikian, pelaku bisa ditindak secara hukum yang berlaku.
Jenis-jenis fraud yang biasanya ditangani adalah korupsi, pencucian uang,
penghindaran pajak, illegal logging, dan sebagainya.
Deteksi kerugian keuangan
Audit forensik juga bisa
digunakan untuk mendeteksi dan menghitung kerugian keuangan negara yang
disebabkan tindakan fraud.
Kesaksian ahli (Litigation
Support)
Seorang
auditor forensik bisa menjadi saksi ahli di pengadilan. Auditor Forensik yang
berperan sebagai saksi ahli bertugas memaparkan temuan-temuannya terkait kasus
yang dihadapi. Tentunya hal ini dilakukan setelah auditor menganalisa
kasus dan data-data pendukung untuk bisa memberikan penjelasan di muka
pengadilan.
Uji
Tuntas (Due diligence)
Uji
tuntas atau Due diligence adalah istilah yang digunakan untuk penyelidikan guna
penilaian kinerja perusahaan atau seseorang , ataupun kinerja dari suatu
kegiatan guna memenuhi standar baku yang ditetapkan. Uji tuntas ini biasanya
digunakan untuk menilai kepatuhan terhadap hukum atau peraturan.
Dalam
praktik di Indonesia, audit forensik hanya dilakukan oleh auditor BPK, BPKP,
dan KPK (yang merupakan lembaga pemerintah) yang memiliki sertifikat CFE
(Certified Fraud Examiners). Sebab, hingga saat ini belum ada sertifikat legal
untuk audit forensik dalam lingkungan publik. Oleh karena itu, ilmu audit
forensik dalam penerapannya di Indonesia hanya digunakan untuk deteksi dan
investigasi fraud, deteksi kerugian keuangan, serta untuk menjadi saksi
ahli di pengadilan. Sementara itu, penggunaan ilmu audit forensik dalam
mendeteksi risiko fraud dan uji tuntas dalam perusahaan swasta, belum
dipraktikan di Indonesia.
Penggunaan
audit forensik oleh BPK maupun KPK ini ternyata terbukti memberi hasil yang
luar biasa positif. Terbukti banyaknya kasus korupsi yang terungkap oleh BPK
maupun KPK. Tentunya kita masih ingat kasus BLBI yang diungkap BPK. BPK mampu
mengungkap penyimpangan BLBI sebesar Rp84,8 Trilyun atau 59% dari total BLBI
sebesar Rp144,5 Trilyun. Temuan tersebut berimbas pada diadilinya beberapa
mantan petinggi bank swasta nasional. Selain itu juga ada audit investigatif
dan forensik terhadap Bail out Bank Century yang dilakukan BPK meskipun
memberikan hasil yang kurang maksimal karena faktor politis yang sedemikian
kental dalam kasus tersebut.
Gambaran
Proses Audit Forensik
Identifikasi
masalah
Dalam
tahap ini, auditor melakukan pemahaman awal terhadap kasus yang hendak diungkap.
Pemahaman awal ini berguna untuk mempertajam analisa dan spesifikasi ruang
lingkup sehingga audit bisa dilakukan secara tepat sasaran.
Pembicaraan
dengan klien
Dalam
tahap ini, auditor akan melakukan pembahasan bersama klien terkait lingkup,
kriteria, metodologi audit, limitasi, jangka waktu, dan sebagainya. Hal ini
dilakukan untuk membangun kesepahaman antara auditor dan klien terhadap
penugasan audit.
Pemeriksaan
pendahuluan
Dalam
tahap ini, auditor melakukan pengumpulan data awal dan menganalisanya. Hasil
pemeriksaan pendahulusan bisa dituangkan menggunakan matriks 5W + 2H (who,
what, where, when, why, how, and how much). Investigasi dilakukan apabila sudah
terpenuhi minimal 4W + 1H (who, what, where, when, and how much). Intinya,
dalam proses ini auditor akan menentukan apakah investigasi lebih lanjut
diperlukan atau tidak.
Pengembangan
rencana pemeriksaan
Dalam
tahap ini, auditor akan menyusun dokumentasi kasus yang dihadapi, tujuan audit,
prosedur pelaksanaan audit, serta tugas setiap individu dalam tim. Setelah
diadministrasikan, maka akan dihasilkan konsep temuan. Konsep temuan ini
kemudian akan dikomunikasikan bersama tim audit serta klien.
Pemeriksaan
lanjutan
Dalam
tahap ini, auditor akan melakukan pengumpulan bukti serta melakukan analisa atasnya.
Dalam tahap ini lah audit sebenarnya dijalankan. Auditor akan menjalankan
teknik-teknik auditnya guna mengidentifikasi secara meyakinkan adanya fraud dan
pelaku fraud tersebut.
Penyusunan
Laporan
Pada
tahap akhir ini, auditor melakukan penyusunan laporan hasil audit forensik.
Dalam laporan ini setidaknya ada 3 poin yang harus diungkapkan. Poin-poin
tersebut antara lain adalah:
1. Kondisi, yaitu kondisi yang
benar-benar terjadi di lapangan.
2. Kriteria, yaitu standar yang menjadi
patokan dalam pelaksanaan kegiatan. Oleh karena itu, jika kondisi tidak sesuai
dengan kriteria maka hal tersebut disebut sebagai temuan.
3. Simpulan, yaitu berisi kesimpulan atas
audit yang telah dilakukan. Biasanya mencakup sebab fraud, kondisi fraud, serta
penjelasan detail mengenai fraud tersebut.
Perbedaan
Antara Audit Forensik dengan Audit Konvensional
Perbedaaan
utama Audit forensik dengan Audit maupun audit
konvensional lebih terletak pada mindset (kerangka pikir).
Metodologi kedua jenis Audit tersebut tidak jauh berbeda.
Audit forensik lebih menekankan pada keanehan (exceptions,
oddities, irregularities) dan pola tindakan (pattern of conduct)
daripada kesalahan dan keteledoran seperti pada audit umum.
Prosedur
utama dalam Audit forensic menekankan pada analytical review dan teknik
wawancara mendalam (in depth interview) walaupun seringkali masih juga
menggunakan teknik audit umum seperti pengecekan fisik, rekonsiliasi,
konfirmasi dan lain sebagainya. Audit forensik biasanya fokus pada
area-area tertentu (misalnya penjualan, atau pengeluaran tertentu) yang
ditengarai telah terjadi tindak kecurangan baik dari laporan pihak dalam atau
orang ketiga (tip off) atau, petunjuk terjadinya kecurangan (red flags),
petunjuk lainnya.
Data
menunjukkan bahwa sebagian besar tindak kecurangan terbongkar karena tip off
dan ketidaksengajaan. Agar dapat membongkar terjadinya fraud (kecurangan) maka
seorang akuntan forensik harus mempunyai pengetahuan dasar Audit
dan audit yang kuat, pengenalan perilaku manusia dan organisasi (human
dan organization behaviour), pengetahuan tentang aspek yang mendorong
terjadinya kecurangan (incentive, pressure, attitudes, rationalization,
opportunities) pengetahuan tentang hukum dan peraturan (standar bukti keuangan
dan bukti hukum), pengetahuan tentang kriminologi dan viktimologi (profiling)
pemahaman terhadap pengendalian internal, dan kemampuan berpikir seperti
pencuri (think as a theft).
Alasan
Diperlukannya Audit Forensik
Mencoba
menguak adanya tindak pidana korupsi dengan audit biasa
(general audit atau opinion audit) sama halnya mencoba mengikat
kuda dengan benang jahit. BPK perlu alat yang lebih dalam dan handal dalam
membongkar indikasi adanya korupsi atau tindak penyelewengan lainnya di dalam
Pemerintahan ataupun dalam BUMN dan BUMD salah satu metodologi audityang
handal adalah dengan metodologi yang dikenal sebagai
Akuntansi forensik ataupun Audit Forensik.
Audit forensik dahulu
digunakan untuk keperluan pembagian warisan atau mengungkap motif pembunuhan.
Bermula dari penerapan akuntansi dalam persoalan hukum, maka istilah yang
dipakai adalah akuntansi (dan bukan audit) forensik. Perkembangan
sampai dengan saat ini pun kadar akuntansi masih kelihatan, misalnya dalam
perhitungan ganti rugi baik dalam pengertian sengketa maupun kerugian akibat
kasus korupsi atau secara sederhana forensik menangani fraud
khususnya dalam pengertian corruption dan missappropriation of asset.
Profesi ini
sebenarnya telah disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
pasal 179 ayat (1) menyatakan: ”Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai
ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan
keterangan ahli demi keadilan”’. Orang sudah mahfum profesi dokter yang disebut
dalam peraturan diatas yang dikenal dengan sebutan dokter ahli forensik,
namun ”ahli lainnya” yang dalam ini termasuk juga akuntan belum banyak dikenal
sebutannya sebagai akuntanforensik
Perkembangan
Akuntansi Forensik di Indonesia
Akuntansi
forensik mulai digunakan di Indonesia setelah terjadi krisis keuangan pada
tahun 1997, hingga saat ini pendekatan akuntansi forensik banyak digunakan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Bank
Dunia, dan Kantor-kantor Akuntan Publik di Indonesia
Perkembangan
akuntansi forensik di Indonesia cukup maju, namun jika dibandingkan dengan
beberapa Negara lain maka Indonesia masih dibilang tertinggal. Australia saat
ini sedang menyusun Standar Akuntansi Forensik, sementara Kanada dan Amerika
Serikat sudah memiliki standar yang baku, sedangkan Indonesia sama sekali belum
memiliki standar yang memadai. Sejauh ini belum banyak kasus-kasus korupsi yang
terkuak berkat kemampuan akuntan forensik, namun akuntansi forensik merupakan
suatu pengembangan disiplin ilmu akuntansi yang masih tergolong muda dan
memiliki prospek yang sangat bagus dalam pemecahan tindak pidana korupsi di
Indonesia.
Dari segi
peminat, menurut Ketua Umum Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Ahmadi (dalam
wawancara 5 maret 2013 untuk hukumonline.com), masih jarang akuntan Indonesia
yang mendalami bidang yang satu ini. Tak semua kantor akuntan public membidangi
forensik. Yang perlu disayangkan, asosiasi profesi akuntan ini belum melirik
forensic sebagai bagian penting dari akuntansi. Dia belum melihat ini sebagai
isu yang mendesak untuk diberi perhatian khusus. Bahkan, Ahmadi sendiri
kurang berminat mengambil spesialisasi ini. Alasannya, apa lagi kalau bukan ceruk
pasar yang masih minim. Saya sendiri tak punya kemampuan di situ. Dan saat ini
saya tidak punya keinginan untuk mempelajari bidang ini. Belum banyak pasarnya,
celetuknya terus terang. Ahmadi sehari-hari buka praktek di Kantor Akuntan
Publik KPMG Hadibroto.
Sebenarnya bidang yang masih
minim diminati di kalangan akuntan itu sendiri dapat menerbitkan peluang
tersendiri. Setidaknya hal itulah yang dibidik oleh KAP PricewaterhouseCooper
Indonesia (PwC). Kami saat ini punya 15 akuntan forensik serta 50 akuntan lainnya
yang sedang kami bekali berbagai keahlian, termasuk akuntansi forensik, tutur
Direktur PwC Widiana Winawati. Widiana juga mengakui bahwa belum banyak akuntan
yang melirik profesi unik ini. Hal itu lantaran spesialisas akuntansi forensic
di Indonesia tergolong baru, masih banyak akuntan yang belum sadar akan adanya
profesi ini.
Contoh-contoh
Kasus Audit Forensik di Indonesia
Kasus Bank
Century
Keinginan
untuk menghusut kasus Century tidak lepas dari keberhasilan membongkar skandal
Bank Bali oleh auditor Pricewaterhouse
Coopers (PwC). Terinspirasi dari sukses tersebut yang
mendorong KPK dan BPK ingin melakukan audit forensik terhadap Bank Century.
Yang jadi perdebatan kemudian adalah biaya untuk audit forensik sejumlah 93
milyar dinilai sangat besar.
Akuntansi/audit
forensik dapat dilakukan oleh lembaga negara seperti BPK, KPK, BPKP atau PPATK
serta lambaga lain seperti Bank Dunia atau kantor akuntan publik Independen
(KAP). Kemungkinan paling besar KAP yang akan diberi tugas melakukan audit
forensik ini.
“Audit
forensik merupakan cara khusus untuk mengetahui apakah kasus yang dimaksud
terdapat pidana korupsinya atau tidak. Sebelum audit forensik dilakukan, BPK
sendiri telah melakukan audit investigasi yang hasilnya ada dugaan tindak
pidana, tapi belum jelas peristiwa pidananya apa” (Haryono-Wakil Ketua KPK). Pada
dasarnya siapapun bisa meminta digelarnya audit forensik, mulai dari masalah
perceraian, konflik premi asuransi, gugatan perdata, hingga penilaian terhadap
kinerja perusahaan.
Salam
Kompasiana
Makassar,
19/02/2011
Dari
berbagai sumber
Serta sumber
dari: Theodorus M. Tuanakotta. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Seri
Departemen Akuntansi FEUI. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Univesitas Indonesia, 2007.
Ini Temuan dan Kesimpulan Audit Forensik Century
JAKARTA, KOMPAS.com — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI telah
menemukan 13 temuan penting dalam hasil audit forensik kasus Century. Ketua BPK
Hadi Purnomo mengatakan, temuan-temuan tersebut merupakan sejumlah transaksi
tidak wajar terkait kasus Century yang telah merugikan negara dan masyarakat.
"Dan
temuan itu dikategorikan berdasar transaksi yang dilakukan, baik sebelum maupun
sesudah Bank Century diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),
termasuk mengungkapkan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi
tersebut," ujar Hadi saat memaparkan hasil audit kepada pimpinan DPR, di
Kompleks DPR, Jakarta, Jumat (23/12/2011).
Berikut ini
adalah 13 temuan dan kesimpulan BPK yang disusun anggota BPK Taufiqurrahman
Ruki:
1. Dana
hasil penjualan Surat-Surat Berharga (SSB) US Treasury Strips Bank Century (BC)
sebesar 29,77 juta dollar AS digelapkan oleh FGAH (Sdr HAW dan Sdr RAR). BPK
berkesimpulan bahwa patut diduga telah terjadi penggelapan hasil penjualan US
Treasure Strips (UTS) yang menjadi hak BC sebesar 29,77 juta dollar AS oleh HAW
dan RAR sebagai pemilik FGAH, yang merugikan BC karena telah membebani
Penyertaan Modal Sementara (PMS).
2. Transaksi
pengalihan dana hasil penjualan SSB US Treasury Strips (UTS) BC sebesar 7 juta
dollar AS dijadikan deposito PT AI di BC dan merugikan BC. Dalam temuan ini,
BPK berkesimpulan pengalihan dana hasil penjualan SSB oleh Kepala Divisi
Treasury BC berinisial DHI menjadi deposito PT AI di BC sebesar 7 juta dollar
AS tidak wajar karena diduga tidak ada transaksi yang mendasarinya, dan merugikan
BC sehingga akhirnya membebani PMS.
3. SSB yang
diperjanjikan dalam skema Assets Management Agreement sebesar 163,48 juta
dollar AS telah jatuh tempo, tetapi tidak dapat dicairkan. BPK berkesimpulan,
salah satu orang yang berperan dengan inisial THL patut diduga telah melakukan
perbuatan hukum, yaitu tidak memenuhi jaminan sebesar 163,8 juta dollar AS
untuk keuntungan BC saat AMA jatuh tempo. (Temuan berdasarkan transaksi kredit)
4. Dana
hasil pencairan kredit kepada 11 debitor tidak digunakan sesuai tujuan
pemberian kredit. BPK menyimpulkan, pemberian kepada 11 debitor, yakni PT AII,
PT SCI, PT CKHU, PT CIA, PT PDUB, PT AIG, PT AI, PT ADI, PT IP, PT CMP, dan PT
WWR, diduga tidak wajar karena melanggar ketentuan perkreditan pada BC.
5. Hasil
penjualan aset eks jaminan kredit oleh PT TNS sebesar Rp 58,31 miliar dan Rp
9,55 miliar tidak disetor ke BC. Dalam temuan ini, BPK menyimpulkan diduga
terjadi penggelapan atas uang hasil penjualan 44 kavling aset eks jaminan PT
BMJA senilai Rp 62,06 miliar oleh Direktur Utama PT TNS berinisial TK dan
rekannya RT dengan cara tidak menyetorkan hasil penjualan kavling tersebut ke
BC. *Transaksi letter of
credit (L/C)*
6. Pencairan
margin deposit jaminan beberapa debitor L/C bermasalah dilakukan sebelum L/C
jatuh tempo untuk keperluan di luar kewajiban akseptasi L/C. Kesimpulan BPK
yakni pencairan jaminan margin deposit sebagai jaminan L/C sebesar Rp 34,03
miliar dan 2,15 juta dollar AS digunakan untuk keperluan yang tidak terkait
dengan pelunasan L/C yang dijamin sehingga merugikan BC.
7. Sdri DT
menutup ketekoran dana valas sebesar 18 juta dollar AS dengan deposito milik
Sdr BS nasabah BC. Dalam temuan ini, BPK menyimpulkan penggantian deposito BS
yang digunakan Kepala Divisi Bank Notes BC berinisial DT untuk menutup kerugian
kas valas sebesar 18 juta dollar AS seharusnya tidak menjadi beban PMS, tetapi
diganti oleh DT sesuai dengan pengakuan utang yang bersangkutan dalam putusan
PN Jakarta Utara No.413/PSdri.DT.G/PN.JKT.UT tertanggal 10 Juni 2010.
8. Sebagian
dana valas yang diduga digelapkan Sdri DT mengalir kepada Sdr ZEM pada tahun
2008 sebesar 392.110 dollar AS. Dalam temuan ini, BPK belum mengambil
kesimpulan karena belum memperoleh data yang memadai atas transaksi ZEM periode
2005-2007. Menurut keterangan Kepala Bagian Valas Bank Notes BC berinisial TIT,
dana tersebut dikuasai oleh DT. *Transaksi dana pihak ketiga terafiliasi*
9. Aliran
dana dari PT CBI kepada Sdr BM sebesar Rp 1 miliar berpotensi menimbulkan
konflik kepentingan. BPK berkesimpulan terdapat aliran dana dari PT CBI kepada
BM yang berpotensi menimbulkan konflik mengingat jabatannya sebagai Deputi BI
Bidang IV yang berperan memutuskan pemberian FPJP kepada BC.
10.
Penambahan rekening PT ADI di BC sebesar Rp 23 miliar tanpa ada aliran dana
masuk ke BC. Dalam temuan ini, BPK menyimpulkan, aliran dana ke rekening PT ADI
tidak wajar karena tidak dapat dibuktikan adanya aliran dana dari PT PPM kepada
BC untuk keuntungan PT ADI. *Transaksi dana pihak ketiga tidak terafiliasi*
11.
Pemberian cashback sebagai kickback oknum
BUMN/BUMD/yayasan. Kesimpulan BPK dalam temuan ini, yaitu aliran dana kepada
oknum direksi BUMN/BUMD/yayasan lainnya tersebut sebesar Rp 1,32 miliar diduga
merupakan kickbackkepada
pengurus BUMN/BUMD/yayasan tersebut. *Transaksi PT Antaboga Deltasekuritas
Indonesia (PT ADI)*
12. Aliran
dana BC sebesar Rp Rp 465,10 miliar kepada PT ADI dan nasabah PT ADI merugikan
BC dan membebani PMS. BPK berkesimpulan aliran dana dari BC sebesar Rp 465,10
miliar kepada PT ADI dan nasabahnya tidak wajar karena diduga tidak ada yang
mendasarinya dan merugikan BC sebesar Rp 427,35 miliar.
13. Aliran
dana BC dari saudara AR tidak wajar karena tidak ada transaksi yang mendasarinya.
Dalam temuan ini BPK menyimpulkan aliran dana BC ke salah satu nasabah BC yang
juga investor PT ADi berinisial AR melalui PT AII sebesar Rp 24 miliar tidak
wajar karena tidak ada transaksi yang mendasarinya.
Selain 13
temuan tersebut, BPK juga membuka dua fakta penting yang ditemukan selama
pemeriksaan. Dua fakta itu yakni:
1. Aliran
dana dari Sdr SS dan Sdri SL ke PT Media Nusa Pradana (MNP) yang menerbitkan
koran Jurnal Nasional (Jurnas). BPK menemukan,
selama periode 2006 sampai dengan 2009 terdapat aliran dana dari seorang
pengusaha berinisial BS. Kemudian, melalui proses berbagai tahap, dana dari BS
kepada anak perusahaannya yang dipegang anaknya (SS) itu masuk sejak 2006-2009
untuk operasional PT MNP sebesar Rp 100,95 miliar. Dalam temuan ini, BPK belum
menemukan hubungan antara aliran dana tersebut dengan kasus BC.
2. Transaksi
penukaran valas dan penyetoran hasil penukaran valas dari HEW, dan Sdr SKS. HEW
dan SKS (istri HEW) adalah nasabah BC sejak Januari 2007. BPK berkesimpulan,
transaksi HEW dan SKS itu patut diduga tidak wajar karena AFR, petugas Bank
Century, menyatakan tidak pernah menerima fisik valas dari SKS dan HEW untuk
ditukarkan ke rupiah. Namun, BPK belum menyimpulkan hubungan transaksi ini
dengan kasus BC karena belum menemukan sumber dana valas yang ditukarkan.
Sumber
:
http://panjikeris.wordpress.com/2012/04/24/audit-forensik/
http://keepcopying.blogspot.com/2014/01/makalah-kasus-hambalang.html
http://nasional.kompas.com/read/2011/12/23/23421754/Ini.Temuan.dan.Kesimpulan.Audit.Forensik.Century.BPK