KECURANGAN DALAM AKUNTANSI
istilah
umum, dan mencakup semua sarana dengan berbagai kecerdikan yang dapat dirancang oleh manusia, yang terpaksa dilakukan
oleh satu individu, untuk mendapatkan keuntungan lebih dari pihak lain oleh
pernyataan palsu. Tidak ada aturan yang pasti dan tidak berubah-ubah yang dapat
diletakkan sebagai proporsi umum dalam mendefinisikan penipuan, karena termasuk
kejutan, tipuan, licik dan cara-cara yang tidak adil dimana pihak lain ditipu.
Batas-batas hanya mendefinisikannya adalah mereka yang membatasi kecurangan
manusia.
Faktor-faktor Kecurangan Akuntansi
Berdasarkan
penelitian Cressey (2006) penyebab atau pemicu fraud dibedakan atas tiga hal
yang dapat digambarkan sebagai berikut :
1.
Tekanan (Unshareable pressure/
incentive)
Merupakan
motivasi seseorang untuk melakukan fraud. Motivasi melakukan fraud, antara lain
motivasi ekonomi, alasan emosional (iri/cemburu, balas dendam, kekuasaan,
gengsi), nilai (values) dan apa pula karena dorongan keserakahan. Menurut SAS
no. 99, terdapat empat jenis kondisi yang umum terjadi pada pressure yang dapat
mengakibatkan kecurangan. Kondisi tersebut adalah financial stability, external
pressure, personal financial need, dan financial targets.
2.
Adanya kesempatan / peluang (Perceived
Opportunity)
Yaitu
kondisi atau situasi yang memungkinkan seseorang melakukan atau menutupi
tindakan tidak jujur. Biasanya hal ini dapat terjadi karena adanya internal
control perusahaan yang lemah kurangnya pengawasan, dan/atau penyalahgunaan
wewenang. Di antara 3 elemen fraud triangle, opportunity merupakan elemen yang
paling memungkinkan untuk diminimalisir melalui penerapan proses, prosedur, dan
control dan upaya deteksi dini terhadap fraud.
3.
Rasionalisasi (Rationalization)
Merupakan
elemen penting dalam terjadinya fraud, dimana pelaku mencari pembenaran sebelum
melakukan kejahatan, bukan sesudah melakukan tindakan tersebut. Rasionalisasi
diperlukan agar si pelaku dapat mencerna perilakunya yang illegal untuk tetap
mempertahankan jati dirinya sebagai orang yang dipercaya, tetapi setelah
kejahatan dilakukan, rasionalisasi ini ditinggalkan karena sudah tidak
dibutuhkan lagi. Rasionalisai atau sikap (attitude), yang paling banyak digunakan
adalah hanya meminjam (borrowing) asset yang dicuri dan alasan bahwa
tindakannya untuk membahagiakan orang-orang yang dicintainya.
Tipe-Tipe Kecurangan
Pada dasarnya terdapat
dua tipe kecurangan, yaitu eksternal dan internal. Kecurangan ekstrenal (eksternal
fraud) adalah kecurangan yang dilakukan oleh pihak luar terhadap entitas.
Misalnya, kecurangan
eksternal mencakup : kecurangan yang dilakukan pelanggan terhadap usaha, wajib
pajak terhadap pemerintah, atau pemegang polis terhadap perusahaan asuransi.
Tipe kecurangan internal (internal fraud). Kecurangan internal adalah
tindakan tidak legal dari karyawan, manajer, dan eksekutif terhadap perusahaan.
Penggolongan kecurangan
1. Penyimpangan atas asset
Penyalahgunaan/pencurian asset atau harta perusahaan atau pihak
lain. Ini merupakan bentuk kecurangan yang mudah dideteksi karena sifatnya yang
tangible atau dapat diukur/ dihitung (defined value)
2. Pernyataan palsu atau salah pernyataan
Tindakan dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan
atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan
melakukan rekayasa keuangan dalam penyajian laporan keuangan untuk memperoleh
keuntungan.
3. Korupsi
Merupakan kecurangan yang sulit dideteksi karena menyangkut
kerja sama dengan orang lain.
Contoh Kasus Kecurangan Akuntansi
1. WorldCom
Perusahaan telekomunikasi terbesar kedua
di Amerika Serikat, mengakui telah Melakukan
skandal akuntansi yang menyebabkan perdagangan
sahamnya di bursa NASDAQ terhenti. Beberapa
minggu kemudian, WorldCom menyatakan diri bangkrut. Perusahaan
telah memberi gambaran yang salah tentang kinerja perusahaan dengan cara
memalsukan milyaran bisnis rutin sebagai belanja modal,
sehingga labanya overstated sebesar $11 milyar pada awal
2002. Perusahaan juga meminjamkan uang lebih dari $400 juta kepada Chief
Executive Officer (CEO)-nya waktu, Bernard Ebbers, untuk
menutupi kerugian perdagangan pribadinya. Ironisnya
meski di dakwa telah melakukan pemalsuan,
konspirasi dan laporan keuangan yang salah,
mantan CEO WorldCom tersebut mengaku tidak
bersalah (Mehta, 2003; Klayman, 2004; Reuters, 2004).
2. Enron Corp
Perusahaan terbesar ke tujuh di AS yang
bergerak di bidang industri energi, para manajernya
memanipulasi angka yang menjadi dasar untuk memperoleh
kompensasi moneter yang besar. Praktik kecurangan yang dilakukan
antara lain yaitu di Divisi Pelayanan Energi, para eksekutif
melebih-lebihkan nilai kontrak yang dihasilkan dari
estimasi internal. Pada proyek perdagangan luar
negerinya misal di India dan Brasil,
para eksekutif membukukan laba yang mencurigakan.
Strategi yang salah, investasi yang buruk
dan pengendalian keuangan yang lemah menimbulkan
ketimpangan neraca yang sangat besar dan
harga saham yang dilebih-lebihkan. Akibatnya ribuan
orang kehilangan pekerjaan dan kerugian pasar milyaran dollar
pada nilai pasar (Schwartz, 2001; Mclean, 2001). Kasus ini
diperparah dengan praktik akuntansi yang
meragukan dan tidak independennya audit yang
dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP)
Arthur Andersen terhadap Enron. Arthur Anderson,
yang sebelumnya merupakan salah satu “The big
six” tidak hanya melakukan memanipulasi laporan keuangan Enron
tetapi juga telah melakukan tindakan yang
tidak etis dengan menghancurkan dokumen-dokumen
penting yang berkaitan dengan kasus Enron.
Independensi sebagai auditor terpengaruh dengan
banyaknya mantan pejabat dan senior KAP Arthur
Andersen yang bekerja dalam department akuntansi Enron Corp. Baik Enron
maupun Anderson, dua raksasa industri di
bidangnya, sama-sama kolaps dan menorehkan sejarah kelam
dalam praktik akuntansi.
3. Skandal Manipulasi Laporan Keuangan PT. Kimia Farma Tbk.
PT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat-obatan milik
pemerintah di Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia
Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut
di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian
BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan
mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002
laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena
telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru,
keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah
sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan
itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan
sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan
barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan
sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7
miliar.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul
karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia
Farma, melalui direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan
(master prices) pada tanggal 1 dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3
Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian
persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan
kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya
pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada
unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil
dideteksi. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang
mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang
berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut
juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.
Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan di harian Kontan yang
menyatakan bahwa Kementerian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham
milik Pemerintah di PT KAEF setelah melihat adanya indikasi penggelembungan
keuntungan (overstated) dalam laporan keuangan pada semester I tahun
2002. Dimana tindakan ini terbukti melanggar Peraturan Bapepam No.VIII.G.7
tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan poin 2 – Khusus huruf m – Perubahan
Akuntansi dan Kesalahan Mendasar poin 3) Kesalahan Mendasar, sebagai berikut:
“Kesalahan mendasar mungkin timbul dari kesalahan perhitungan
matematis, kesalahan dalam penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan
interpretasi fakta dan kecurangan atau kelalaian.
Dampak perubahan kebijakan akuntansi atau koreksi atas kesalahan
mendasar harus diperlakukan secara retrospektif dengan melakukan penyajian
kembali (restatement) untuk periode yang telah disajikan sebelumnya dan
melaporkan dampaknya terhadap masa sebelum periode sajian sebagai suatu
penyesuaian pada saldo laba awal periode. Pengecualian dilakukan apabila
dianggap tidak praktis atau secara khusus diatur lain dalam ketentuan masa
transisi penerapan standar akuntansi keuangan baru”.
4. Kasus KAP Andersen dan Enron
Kasus KAP Andersen dan Enron Kasus KAP Andersen dan Enron
terungkap saat Enron mendaftarkan kebangkrutannya ke pengadilan pada tanggal 2
Desember 2001. Saat itu terungkap, terdapat hutang perusahaan yang tidak
dilaporkan, yang menyebabkan nilai investasi dan laba yang ditahan berkurang
dalam jumlah yang sama. Sebelum kebangkrutan Enron terungkap, KAP Andersen
mempertahankan Enron sebagai klien perusahaan, dengan memanipulasi laporan
keuangan dan penghancuran dokumen atas kebangkrutan Enron, dimana sebelumnya
Enron menyatakan bahwa pada periode pelaporan keuangan yang bersangkutan
tersebut, perusahaan mendapatkan laba bersih sebesar $ 393, padahal pada
periode tersebut perusahaan mengalami kerugian sebesar $ 644 juta yang
disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang
didirikan oleh Enron. Analisa : Pelanggaran etika dan prinsip profesi akuntansi
telah dilanggar dalam kasus ini, yaitu pada prinsip pertama berupa pelanggaran
tanggung jawab profesi untuk memelihara kepercayaan masyarakat pada jasa
professional seorang akuntan. Prinsip kedua yaitu kepentingan publik juga telah
dilanggar dalam kasus ini. Seorang akuntan seharusnya tidak hanya mementingkan
kepentingan klien saja, tapi juga kepentingan publik.
5. Kasus Mulyana W.Kusuma
Kasus Mulyana W. Kusuma Kasus ini terjadi sekitar tahun 2004.
Mulyana W Kusuma sebagai seorang anggota KPU diduga menyuap anggota BPK yang
saat itu akan melakukan audit keuangan berkaitan dengan pengadaan logistic
pemilu. Logistic untuk pemilu yang dimaksud yaitu kotak suara, surat suara,
amplop suara, tinta, dan teknologi informasi. Setelah dilakukan pemeriksaan,
badan dan BPK meminta dilakukan penyempurnaan laporan. Setelah dilakukan
penyempurnaan laporan, BPK sepakat bahwa laporan tersebut lebih baik daripada
sebeumnya, kecuali untuk teknologi informasi. Untuk itu, maka disepakati bahwa
laporan akan diperiksa kembali satu bulan setelahnya. Setelah lewat satu bulan,
ternyata laporan tersebut belum selesai dan disepakati pemberian waktu
tambahan. Di saat inilah terdengar kabar penangkapan Mulyana W Kusuma. Mulyana
ditangkap karena dituduh hendak melakukan penyuapan kepada anggota tim auditor
BPK, yakni Salman Khairiansyah. Dalam penangkapan tersebut, tim intelijen KPK
bekerjasama dengan auditor BPK. Menurut versi Khairiansyah ia bekerja sama
dengan KPK memerangkap upaya penyuapan oleh saudara Mulyana dengan menggunakan
alat perekam gambar pada dua kali pertemuan mereka. Penangkapan ini menimbulkan
pro dan kontra. Salah satu pihak berpendapat auditor yang bersangkutan, yakni
Salman telah berjasa mengungkap kasus ini, sedangkan pihak lain berpendapat
bahwa Salman tidak seharusnya melakukan perbuatan tersebut karena hal tersebut
telah melanggar kode etik akuntan
http://davidparsaoran.wordpress.com/2009/11/04/skandal-manipulasi-laporan-keuangan-pt-kimia-farma-tbk/
akuntansipendidik.blogspot.com/2012/09/skandal-atau-kecurangan-akuntansi-fraud.html
http://airdanruanggelap.blogspot.com/2012/11/pelanggaran-kode-etik-yang-terjadi-pada_26.html